IJTI: Ini Ancaman Kebebasan Pers

Senin, 12 Oktober 2020

IJTI dan Jurnalis Surabaya menggelar aksi damai, buntut kekerasan terhadap jurnalis .(f.iNews/ANews)

Jakarta (ANews) - Sebanyak 18 jurnalis menjadi  korban kekerasan saat meliput unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Kondisi ini menjadi ancaman nyata bagi iklim kebebasan pers di Tanah Air.

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana mengatakan, tindakan reprsif terhadap jurnalis yang sedang meliput menambah catatan buruk aparat.

"Kami mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada para jurnalis di berbagai daerah," kata Yadi dalam keterangannya, Minggu (11/10/2020).

IJTI juga mendesak Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz agar menyelidiki dan memeriksa anggotanya yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan kepada para jurnalis.

Yadi juga meminta Dewan Pers dan Polri mengevaluasi pelaksanaan dan sosialisasi MoU kedua lembaga tersebut. Faktanya banyak polisi yang tidak paham tugas-tugas jurnalis yang dilindungi oleh UU.

"Intimidasi, kekerasan atau menghalang-halangi kerja jurnalistik adalah tindakan pidana sebagaimana tertuang dalam UU Pers No 40 tahun 1999," ujar dia.

Justru aparat kepolisian harusnya ikut serta melindungi jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya. Mereka juga harus menghormati tugas-tugas para jurnalis.

"Selain itu, para jurnalis harus menjalanakan tugasnya secara profesional, berpegang teguh pada kode etik dan perundang-undangan yang berlaku serta mengutamakan keselamatan diri," katanya.

Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di berbagai daerah, antara lain dua jurnalis TV di depan Kantor DPRD Tarakan, Kalimantan Utara. Di Bandarlampung menimpa empat orang jurnalis berbagai platform media.

Kemudian di Palu, Sulawesi Tengah dan Medan, Sumatera Utara. Bahkan kondisi serupa terjadi di Ibu Kota DKI Jakarta. Totalnya ada 18 orang yang menjadi korban kekerasan tersebut.**