Akar Masalah PETI di DAS Kuansing

Rabu, 04 November 2020

Dr. Ir H. Apendi Arsyad MSi

Oleh : Dr. Ir H. Apendi Arsyad MSi

MEMBACA dialog postingan para sahabat di WAG Forkom IKKS se Indonesia, saya baca dan simak dengan baik isi pesan dan beritanya, membuat hati ini semakin terenyuh, gemas, muak, mau marah dan penasaran ada apa sebenarnya yg terjadi kok kegiatan penambangan emas secara illegal (PETI) di badan sungai Kuantan dan Singingi masih saja berlangsung, tidak hilang-hilang. 

Sudah belasan tahun upaya penertiban dan penindakan para perusak ekosistem daerah aliran sungai (DAS) tidak juga terpecahkan oleh Pemkab Kuansing dan Pemprov Riau yang menjadi kewenangan dan kekuasaan Lembaga Pemerintahan. 

Masalah sosialnya semakin komplek, bahkan menjadi-jadi (meraja lela) buktinya begitu banyak korban jiwa untuk saat ini. Belum lagi kita meramal korban manusia yang akan jatuh, menderita di masa depan (puluhan tahun yang akan datang). 

Di masa depan akan ada penduduk lokal-pribumi yg pernah dan setiap hari mengkonsumsi air sungai untuk diminum dan atau mandi, cuci dan kakus (MCK) akan mengalami penurunan derajat kesehatan, akibat pengaruh logam berat yg berbahaya dan beracun (B3) yang masuk ke tubuh manusia, seperti air raksa (Merkuri dll). 

Kita hendaknya bisa belajar dari pengalaman buruk negara Jepang pada tahun 1950an terjadi peristiwa pencemaran perairan Teluk oleh buangan (waste) industri/pabrik2, yg menghebohkan masyarakat dunia, akibat adanya pencemaran air (water pollutions) di Teluk Minamata Jepang tsb, penduduk lokalnya terkena penyakit "Itai-itai" (gatal2) dikenal "Minamata Deases", kemudian muncul penyakit turunannya penduduk Teluk Minamata menjadi mata buta, tulang rapuh, lumpuh, kulit rusak, kanker, tumor, dsb. 

Kehidupan gelap menimpa penduduk lokal Minamata yg kebanyakan kaum nelayan, yang hidup sekitar perairan Teluk.

Kasus ini akibat buruknya baru ketahuan dan tampak gejalanya pada penduduk yang mengalami sakit dalam beberapa dasa warsa kemudian. Hidup mereka para korban pencemaran lingkungan, akhirnya menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. 

Dalam buku teksbooks/literatur sudah banyak ditulis dan dijelaskan dampak negatif  dari B3/logam Merkuri dll tersebut bagi kehidupan manusia. 

Hendaknya ini menjadi bahan perenungan buat semua kita, terutama bagi para pengguna dan pemangku kepentingan (stakeholders) DAS Kuansing, terlebih buat aparat penegak hukum lingkungan di nagori kita spt Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Satpol PP Pemkab Kuansing, dll. Janganlah kalian bermain-main, abai dan apatis terhadap para penjahat PETI yg mencemarkan badan air sungai Kuantan dan sungai Singingi tersebut. Ini beresiko tinggi. 

Kita harus merasa kasihan akan nasib anak cucu kita di kemudian hari nanti, jangan sampai menjadi beban keluarga dan masyarakat akibat sakit yg tidak bisa disembuhkan oleh dunia kedokteran, seperti dampak Minamata Deases yg saya ungkapkan tadi. Kita semua harus sadar sesadarnya tentang pengalaman pahit ini.!!!

Anda dan kita pasti tahu dan paham bahwa pola budaya masyarakat Kuansing dan juga kebutuhan dasar (basic needs) khusus kebutuhan ekonomi keluarga sangatlah tergantung ketersediaan air bersih yg ada di sungai2 sejak zaman nenek moyang (para leluhur) kita hingga sekarang (zaman now, millenial). 

Bahkan, pola kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan 2 (dua) sungai besar itu, peradaban masyarakat Kuansing dimulai dan dibagun atas kekayaan potensi sumberdaya alam ekosistem DAS tersebut, sehingga nama Kabupaten pemekaran di era reformasi dari Kab. Indragiri Hulu (thn 1999) kini daerah ini oleh para pendiri/ tokoh masyarakat rantau Kuantan, diberi nama sungai yaitu Kabupaten Kuantan Singingi.
 
Oleh karena wajarlah dan wajib kita menjaga kelestarian kedua DAS tersebut untuk merawat marwah (harga diri) nagori kito. Kondisi DAS Kuansing dan DAS Singingi adalah cerminan peradaban masyarakat kita.
Dengan kata lain, jika ekosistem DAS Kuantan dan DAS Singingi rusak dan dihancurkan, maka hancurlah budaya luhur (marwah) nagori kita, serta hancurlah sumber kehidupan penduduk lokal- pribumi Kuansing, para dunsanak kito, jika ini terus dibiarkan akan membawa kesengsaraan bagi generasi Kuansing yang akan datang (anak cucu kita). 

Jadi keberadaan kedua DAS ini begitu vital dan  bernilai sangat tinggi. DAS itu sebagai sumberdaya alam statusnya milik umum (communal property  rights) bukan milik pribadi (private property right) dari para tuan2 oknum PETI. Kita wajib dan seharusnya  melestarikannya, sebab keberadaannya sangat menentukan nasib kehidupan rakyat Kuansing kini dan masa depan.

Jika kita berkaca dengan negara2 maju, ekosistem DAS yg memiliki keindahan lanscap alamnya yg bernilai tinggi dan terdapat jasa2 lingkungan (amenities) telah dikembangkan kegiatan dan usaha paket ekowisata berbasis DAS, seperti yg pernah saya tulis sebelum ini, Alhamdulilah Pemkot Pekanbaru bekerjasama dengan pihak swasta sudah memulai usaha ekowisata dengan kapal pesiar (cruise) di DAS Siak daerah Sinapelan Kota Pekanbaru. Ini patut ditiru!  

Jadi ekosistem DAS sudah dikelola secara cerdas dan profesional untuk mendapat nilai tambah ekonomi pariwisata alam yg bersifat multiplier effect. Seharusnya para birokrat ASN Pemkab Kuansing berpikir kreatif dan inovatif seperti itu, yang barang tentu harus didukung oleh para legislatornya (DPRD Kuansing) dengan kesadarannya terhadap penyelamatan lingkungan hidup. Mereka harus pula berbuat kreatif-inovatif, memikirkan untuk mencari sumber2  pendapatan baru (new income of governement) atau penghasilan asli daerah sendiri (PADS) dalam rangka mensejahterakan rakyat. 

Berbagai regulasi seperti Perda tentang pelarangan PETI wajib dibuat, agar aparat Satpol PP Pemkab Kuansing punya legalitas dan dukungan dana APBD Kuansing yang cukup tersedia, tidak seperti sekarang kurang dan bahkan tidak ada dananya, akhirnya mereka "ogah-ogahan" bertindak untuk pencegahan dan penindakan PETI.

Mudah2 aparat Pemerintahan dan aparat penegak hukum memahami mengapa kita harus menyelamatkan DAS Kuantan dan DAS Singingi. Untuk itu mereka para penegak hukum sudah seharusnya bekerja dengan serius, bersungguh-sungguh dan terus menerus/secara berkelanjutan untuk menindak para kriminal lingkungan hidup agar jera dan hilang di bumi pacu jalur Kuansing. 

Jangan lagi bertindak "berpura-pura" hanya sekedar pencitraan sesaat, yang selama ini berlangsung yaitu razia penertiban PETI di DAS Kuantan dan DAS Singingi. Istilah lainnya ini dilakukan aparat keamanan, krn ada desakan Ormas, jadi "hangat2 taik ayam" kato ughang kampuang awak. Faktanya setelah dilakukan razia, beberapa waktu kemudian kegiatan PETI muncul dan marak lagi.

Harapan kita, Polres Kuansing bertugas dengan panggilan nurani dan tuntutan hukum yg berlaku di NKRI ini, bukan karena tekanan ormas IKKS  baru aparat Kepolisian setempat bertindak. Akan tetapi mereka menjalankan tugas negara yg dimotivasi untuk menyelamatkan SDA dan lingkungan DAS Kuansing demi keselamatan rakyat beserta anak cucu kita, dan juga atas perintah hukum yg ada di NKRI ini.

 Saya yakin pihak dan jajaran Polres Kuansing tahu dan sangat paham berbagai UU, PP dan Kepmen yg melarang penambangan emas illegal (PETI) ini dan berbahaya bagi manusia sekitarnya.

Jika PETI terus ada berarti negara/Pemkab Kuansing tidak berfungsi melindungi rakyatnya senagaimana tujuan bernegara (baca Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4) dan apabila membiarkan terus para penjahat PETI mengeksploitasi SDA emas di lingkungan yang ada di badan2 sungai yg notabene milik umum, bukan milik pribadi atau milik datuaknya. Berarti aparat Pemkab Kuansing dan Pemprov Riau tidak menjalankan tugas pemerintahan dan memberikan pelayanan baik kepada rakyatnya, mereka telah memakan "gaji buta". 

Mereka janganlah berapologis bahwa ini bukan kewenangan Pemkab, tapi Pemprov, aparat Penegak hukum bingung (ambigu), sehingga timbul pemikiran dan perbuatan jahat untuk berkolusi dengan oknum pemodal PETI karema lumayan mendapat jatah sejumlah uang (upeti). 

Gejala sosial negatif yg jahat tersebut sudah sangat dipahami masyarakat Kuansing, terutama para pakar dan akademisi akan lebih paham mengapa dan apa faktor2 yang menyebabkan kegiatan PETI yang merusak ekosistem dan mencemari air sungai, tidak bisa hilang di rantau Kuansing. Hasil2 riset dari para akademisi/Dosen UR, UIR, UIN Susqo dll telah  menemukan dan menunjukkan penyebabnya, diantaranya ada oknum yg bermain. 

Dalam dialog di Forkom WAG IKKS se Indonesia telah diungkapkan akibat mafia pertambangan, dimana oknum Polres dan Polsek di beberapa Kecamatan diduga "terlibat" karena ada "upeti" dari pemodal PETI seperti yang dilaporkan Pengurus Karang Taruna dari Desa Titian Modang - Kopah Kuantan Tengah Kuansing (agar lebih jelas, para sahabat harap membaca surat resmi Karang Taruna pimpinan Wendi dkk melaporkan kegiatan PETI kepada Kapolres Kuansing Riau, tanggal 2 November 2020 yg telah diposting di WAG IKKS). 

Upaya para aktivis Karang Taruna Desa Titian Modang Kopah ini sepatutnya kita dukung dan berikan appresiasi (acungan jempol) serta ormas IKKS aktif memonitor, mengontrol dan memback-up agar PETI hilang di bumi Kuansing.
 Saya mendapatkan berita bahwa masih maraknya aktivitas PETI, miris hati ini,
tragis, memang !!! 

Malu awak, dan marah menyaksikan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di zaman kini di era pasca reformasi masih ada segelintir oknum warga masyarakat (pemilik modal) berkolusi dengan oknum Aparat penegak hukum.  Mereka dgn teganya berbuat dan ikut serta melanggar sejumlah Peraturan dan perundangan yg berlaku,  berkongsi dengan para penjahat lingkungan PETI. 

Melihat fenomena paradoks dan anomali ini, diibaratkan,
bak pepatah "pagar makan tanaman", pantaslah secara akal sehat (common sense), PETI tidak bisa hilang di bumi rantau Kuansing.

Mereka para oknum menjadi aktor mafia PETI begitu pendapat yg berkembang opininya di WAG Forkom IKKS se Indonesia, bukannya mereka berperilaku menjadi contoh-tauladan sebagai ASN, WNI yg baik dalam menjalankan dan menegakkan hukum di negeri ini.

Saran kita kepada Kapolri dan Kapolda Riau, agar terus melakukan tindakan hukum serta Pengurus IKKS, terua  bersuara lantang agar  mereka "para oknum ASN, Polri dan TNI" yg terlibat dalam sistem permafiaan PETI, segeralah ditertibkan dan diamankan, jika terbukti berbuat kriminal ditindak tegas secara hukum, tetapi dengan proses penegakan hukum yg transparan dan berkeadilan, agar masyarakat tahu perkembangannya.

Semoga tulisan saya ini bermanfaat dan menyadarkan kita akan sebuah tanggungjawab sosial terhadap nasib nagori Kuansing, para dunsanak di kampuang beserta anak cucu kita. Rantau Kuansing "Jauh di mata dekat di hati".

Sukron barakallah. Aamiin  Ya Allah
Wassalam. 

*(Pendiri-Dosen/Assosiate Profesor pada Program Studi Agribisnis Faperta Universitas Djunda Bogor, konsultan dan aktivis di beberapa Ormas di Bogor)