Dilema PETI Kuansing; Jeritan Ekonomi  Versus  Pelestarian Lingkungan

Jumat, 06 November 2020

Oleh: Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env

MENYAMBUNG  tulisan Dr Apendy Arsyad pada harian ini (Amanah News, Rabu, 4 November 2020) dengan tajuk “ Akar Masalah PETI di DAS Kuansing”  penulis selaku anak jati diri Kuantan Singingi kembali tergerak jiwa dan raga  untuk menambahkan dan mungkin memperkaya pembahasan berkenaan dengan penambangan emas tanpa izin (PETI), khususnya di Bumi Jalur, Kuansing yang saya cintai dan banggakan. Enam  tahun silamnya,  penulis sudah pernah mengangakat isu ini melalui tulisan di Harian Haluan Riau sebanyak tiga edisi (11, 12  dan 13 November 2014) dengan judul Peti Versus Piti.
Jamaknya masalah kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, lebih disebabkan karena tuntutan ekonomi jangka pendek untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan slogan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan ekonomi  sembako masyarakat. Sehingga kerap kali kepentingan ekonomi jangka panjang, apalagi kelestarian lingkungan menjadi terabaikan dan tergadaikan, termasuk dalam kasus PETI di Kuansing.

Persoalannya menjadi kompleks dan bertambah rumit, karena kegiatan ini tidak dipantau dan dicegah dari awal oleh pihak penguasa (pemerintah), baik di tingkat desa, kecamatan hingga nasional. Sehingga kemudian bertambah banyak, beranak pinak dan kadang menjelma menjadi satu komunitas baru. Dan akhirnya mereka menjadi banyak dan kuat. Setelah itu, kerusakan atau dampak negatif yang ditimbulkannya juga menjadi besar dan hebat, terutama dampak terhadap ekologi berupa pencemaran lingkungan (udara, air, dan tanah). Selain itu, juga bisa merembes kepada dampak negatif sosial, budaya, politik dan yang lainnya. Kasus ini jika disimak dan diamati, banyak terjadi di Tanah Air, mulai dari Sabang hingga Merauke. Dengan jenis dan kadar kerusakan lingkungan yang diakibatkanya (kerusakan ringan hingga berat  yang kemudian dikenal sebagai pencemaran lingkungan).

Karena mereka sudah banyak dan membentuk komunitas yang kuat dan solid, sehingga usaha untuk memberantasnya menjadi sukar dan kompleks. Dan berbagai usaha untuk memberantasnya sering berujung dengan perlawanan dari pihak pencemar tersebut, termasuk kegiatan PETI di Kuansing. Ini yang kemudian menimbulkan konflik yang tak berkesudahan,  baik antara sesama warga masyarakat (antara masyarakat pelaku PETI dengan masyarakat lainnya yang anti PETI yang dikenal sebagai konflik horizontal. Konflik vertikal juga sering terjadi, antara pelaku PETI (masayrakat) dengan aparat pemerintah (polisi), antara pengusaha PETI dengan aparat, atau antara masyarakat dengan pengusaha PETI.

Kenapa konflik terjadi? Karena ada kepentingan ekonomi yang diperebutkan dari kegiatan tersebut. Ada percikan piti dari aktivitas Peti tersebut. Percikan itu yang mengalir kemana-mana (masyarakat, pengusaha, oknum pejabat dan aparat). Percikan piti ini yang  ingin dilanjutkan terus dan dilestarikan, dan kalau bisa percikan makin membesar. Apalagi di tengah himpitan ekonomi dan desakan kebutuhan ekonomi global yang semakin kompleks (sembako, pendidikan anak, jajan anak, jajan bini,  kesehatan, HP baru, motor baru, rumah baru, ruko baru, dan urusan  tetek bengek lainnya di jaman digital dan millenium baru). Ditambah lagi tekanan ekonomi di era pandemi Covid19 yang tak tahu kapan titik akhirnya.

Sementara di sisi lainnya, usaha ekonomi kerakyatan (pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan) banyak yang mengalami kemunduran dengan berbagai faktor penyebabnya. Sebagai contoh petani karet, yang semakin terhimpit dengan harga jual karet (getah) yang terus berfluktuasi dan tak menentu, serta lahan karet yang semakin tergerus. Sumberdaaya perikanan (sungai, danau) juga semakin berkurang kuantitas dan kualitasnya sehingga ikan dan udang semakin sulit didapatkan, akibat dari kerusakan dan kemerosotan sumberdaya air. Usaha peternakan (kerbau, sapi, kambing) juga tidak banyak bisa diharapkan lagi dengan semakin terbatasnya padang penggembalaan dan biaya pemeliharan yang tidak sebanding dengan hasil usaha. Usaha kehutanan dengan mencari hasil kayu (timber) dan hasil non-kayu (non-timber)  seperti; madu, kancil, rusa, burung, getah, damar, buah barangan, petai, cempedak hutan, gaharu, dan yang lainnya juga tinggal kenangan, karena hutan sudah berganti menjadi lahan perkebunan sawit. Malangnya, perkebunan sawit, mayoritas (60-80%) dimiliki korporasi besar. Rakyat kecil hanya sebagai pekerja/buruh sawit (pendodos sawit, security pabrik, pegawai adminsitrasi), dan sebagian lagi pemiliki kebun sawit dengan lahan yang terbatas (2 hektar).

Jadi, menurut saya, akar masalah kegiatan PETI ini adalah karena adanya kepentingan ekonomi jangka pendek di belakangnya. Jadi salah satu solusi efektif mencegahnya adalah menciptakan peluang ekonomi kerakyatan atau ekonomi kreatif  yang menjanjikan dan bisa dibuktikan untuk mensejahterakan masyarakat. Sehingga rakyat  kecil tidak akan melirik  kegiatan PETI yang merusak lingkungan, dengan risiko besar (jiwa) dan kerja keras membanting tulang (pagi hingga malam), dengan hasil yang hanya sekedar untuk dapur mengepul doang. Jadi, ini solusi dari akar rumput yang harus diwujudkan, terutama oleh stakelholder pembangunan desa, khsususnya Camat beserta jajarannya karena merupakan aparatur negara yang paling bersinggungan dengan masyarakat, kemudian Kepala Desa dan jajarannya, tokoh masyarakat serta pemuda untuk dapat  menciptakan peluang-peluang ekonomi kreatif yang menjanjikan. Termasuk juga disini mitra dengan pengusaha (baik di tingkat desa, kecamatan hingga nasional), untuk dapat membantu dan berinvestasi di pedesaaan. Investasi untuk kegiatan ekonomi yang beranekaragam dan tidak merusak lingkungan, yang dikenal dengan istilah green economy. Termasuk penyebaran dan pembangunan industri rumah tangga dan industri kecil lainnya (UMKM), yang dapat menampung lapangan pekerjaan yang banyak dengan skill yang tidak terlalu tinggi.

Termasuk solusi disini oleh pihak pengambil kebijakan (Pemkab atau Promprov) dengan membuat aturan baku dan legal yang lestari di dalam usaha penambangan emas, yang dikenal dengan berbagai istilah seperti pertambangan rakyat  dan yang sejenisnya. Karena usaha penambangan emas di Kuansing sudah menjadi tradisi, yang dikenal dengan istilah mendulang ome, namun kegiatan ini dalam skala rumah tangga dan tidak mencemarkan lingkungan. Usaha mendulang ome ini yang perlu dilegalkan dan disesuaikan dengan keadaan jaman dan situasi terkini.

Kemudian, akar masalah kedua adanya kepentingan ekonomi dari para pengusaha, elit dan oknum pejabat dan aparat. Ini juga yang menjadi masalah besar di dalam pemberantasan lingkungan di Tanah Air, termasuk kasus PETI. Jika rakyat kecil hanya mendapatakna recehan dan sekedar pengisi kampung tengah dan sembako. Maka kepentingan ekonomi yang kedua ini berkaitan dengan fulus dan piti godang, mulai dengan omzet ratusan juta hingga milyaran, tergantung kelasnya. Ada kelas teri, bocek, toman hingga kelas paus. Dan ini sudah menjadi rahasia umum, dan para pelakunya sebagian sudah dikenal baik masyarakat. Bahkan segelintir dari mereka memiliki jiwa sosial yang  tinggi, dengan sumbangan dan bantuan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu berupa pembagian sembako, santunan anak yatim dan fakir miskin, bagi bagi piti rayo dan angpao ketika hari lebaran atau bulan puasa. Kalau di Kota Batik Pekalongan istilahnya zakat lingkungan.  Walaupun sebagian lagi, pelaku di belakang layar dan tidak dikenal jatidirinya. Mengatur dan mengkoordirnir dari jauh, melalui telfon, WA, SMS, dan trasnfer rekening. 

Kelompok kedua ini, mungkin bisa juga dimasukkan ke dalam kategori mafia dalam kegiatan PETI  di Kuansing. Seperti layaknya mafia yang dikenal dalam dunia kriminal (kartel narkoba, prostitusi). Mereka juga berperangai seperti itu. Semua dihitung dan dinilai dengan uang dan uang. Semua cara dihalalkan untuk mendapatkan fulus yang diharapkan. Berbagai strategi dan siasat dimainkan, baik secara kasar maupun halus, yang penting usaha lancar dan piti masuak.

Dan untuk solusi masalah yang kedua ini lebih sukar dan kompleks lagi dibandingkan yang pertama sebenarnya. Karena kelompok yang kedua ini, sadar dan tahu hukum, dan ditunjang dengan jabatan, harta dan kekuasaan yang melekat untuk melancarakan aksi dan kegiatannya. Bahkan yang memiriskan lagi, mereka ini yang sebenarnya harus mengayomi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi jangka panjang justru mereka yang menghancurkannya (sadar ataupun tidak). Bahkan ada yang sejatinya  berperan sebagai wasit ibarat dalam pertandingan sepak bola, namun justru wasit ikut main dan berpihak ke salah satu team.

Bagaimana solusinya? Disinilah peranan aparat penegak hukum mulai dari kepolisian yang berfungsi untuk menertibkan dan menjaga keamanan masyarakat dari berbagai pelanggaran hukum (dari Polsek, Polres hingga Polri). Kemudian juga perlu kerjasama yang mantap dengan jaksa dan hakim jika ada kasus kejahatan lingkungan (environmental crime) yang perlu ditangani. Karena secara institusi kenegaraan mereka adalah garda terdepan di dalam pemberantasan kerusakan lingkungan, mau tidak mau. Sebab jikapun kegiatan PETI dibeking para mafia, baik itu oknum pejabat atau aparat, mereka pada hakikatnya adalah mengatasanamakan pribadi (oknum), karena secara intitusi tidak melegalkan kegiatan merusak lingkungan seperrti PETI dan yang lainnya.

Alhmdulillah, dengan usaha keras dari Ketua Karang Taruna Desa Kopah, Wendra Martandi, SE dan kawan-kawan, dalam usaha untuk mengatasi PETI di Titian Modang, Kopah, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS) melalui Webinar pada Hari Sabtu, 31 Oktober 2020, dengan tema “Karang Taruna Desa Titian Modang, Kopah, Sesalkan Peti Sudah Masuk Perkampungan Warga” kemudian dilanjutkan lagi Webinar kedua, Senin, 2 November 2020. Selanjutnya dilaporkan secara resmi kepada pihak Polres Kuansing dan juga kepada  Kapolda secara informal melalaui WA oleh Pengurus IKKS. Dan hanya berselang beberapa jam langsung dilakukan eksekusi pemberantasan PETI di Titian Modang, Desa Kopah (Rabu, 3 November 2020) oleh aparat Polres Kuansing dan langsung dipantau oleh Polda Riau. Penulis melalui tulisan ini memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya  kepada Kapolda Riau, Bapak Irjen Pol Agung Setia Imam Effendy, dan  Kapolres Kuansing, Bapak AKBP Henky Poerwanto, SIK,MM dan jajarannya yang bertindak cepat dan tepat. 

Kita berharap, bahwa keberhasilan pemberantasan PETI di Titian Modang, Desa Kopah, Kuantan Tengah oleh aparat Polres Kuansing menjadi titik awal pemberantasan dan pemusnahan usaha Peti di Kuansing. Karena menurut informasi yang terpercaya, masih banyak usaha PETI yang lebih besar lagi dari yang ada di Desa Kopah. Kita berharap menghadapi tahun baru 2021 sudah tidak ada satupun lagi usaha PETI di Kuansing. Zero PETI. Mudah-mudahan. InshaAllah.*


Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Pengurus Bidang Sosial dan Agama IKKS Pekanbaru