Penyebab Utama Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di KuansingĀ 

Senin, 07 Desember 2020

(Bagian Pertama)

Oleh: Dr. Apriyan D. Rakhmat, M.Env

ANALISIS dan dugaan saya seperti dalam tulisan sebelumnya di harian ini (AmanaNews, Jumat, 06 November) dengan judul “Dilema PETI Kuansing; Antara Jeritan Ekonomi Versus Kelestarian Lingkungan” bahwa aktivitas PETI  sudah begitu mengakar dan sulit diberantas benar adanya. Patah tumbuh hilang berganti. Sekejap dimusnahkan,  tak lama kemudian beraksi lagi. Atau tumbuh dan berkembang  lebih banyak di tempat lain. 

Sebagai contoh terbaru adalah aktivitas PETI di Titian Modang, Desa Kopah, Kecamatan Kuantan Singingi, yang kembali beraksi, padahal sebulan yang lalu (03 November 2020) sudah dilakukan razia dan pembakaran mesin dompeng  beserta barak para pekerja oleh petugas dari Polres Kuansing.  Pemberantasan dan razia yang dilakukan Polres Kuansing baru baru ini ( Sabtu/ 5 Desember) terhadap aksi PETI di Titian Modang, Desa Kopah adalah atas laporan dari masyarakat via Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS) Pekanbaru , yang dengan cepat direspon oleh Polres Kuansing. Terimakasih banyak yang setinggi-tingginya terhadap Polres Kuasing yang dengan sigap  menindaklanjuti laporan dari masyarakat.

Menurut informasi yang dapat dipercaya beserta foto dan gambar yang penulis  terima, pemberantasan PETI kali ini yang dilakukan oleh Polres Kuasing berhasil membumihanguskan 15 mesin dompeng dan tempat serta barak para pekerja. Dalam tayangan video yang penulis dapatkan, terekam juga omelan dan kemarahan warga yang terlibat dalam aktivitas PETI tersebut. 

Sebenarnya jika ditelusuri lagi, aktivitas PETI di Kuansing masih eksis dan terus berjalan, bahkan masih banyak yang lebih besar dan masiv dibandingkan yang ada di Titian Modang, Desa Kopah, Kuantan Singingi. Sebagian terekspos ke media massa dan media sosial, sebagian lagi dilaporkan masyarakat. Dan banyak lagi yang tidak tereskpos dan didiamkan masyarakat. 

Mengapa  aktivitas PETI di Kuansing begitu sukar untuk memberantasanya? Secara umum adalah karena  ada aliran fulus yang mengalir ke mana mana, khususnya kepada para pelaku aktivitas PETI. Dan porsi terbesar biasanya didapatkan oleh para mafia PETI, yang kalau boleh kita tulis terdiri dari kolaborasi antara pihak pemodal, aparat desa dan keamanan, oknum pejabat, elit politik dan oknum penegak hukum. Selain mafia PETI adalah pekerja atau buruh PETI, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung (pemilik lahan, pemasok bakar minyak, suplai bahan makanan, dan pemasok bahan serta peralatan operasional PETI).

Dalam kesempatan ini, penulis akan menguraikan secara lebih terperinsci, penyebab utama aktivitas PETI di Kuasing. Dengan harapan, setelah diketahui penyebabnya akan dapat dicarikan solusi atau resep serta ramuan untuk mengatasinya. Ibarat seorang dokter yang telah menemukan penyebab penyakit yang dialami pasien, yang kemudian dapat menuliskan resep obat yang sesuai dengan penyakit yang diderita  pasien. Walaupun terkadang resep obat yang diberikan tidak cocok atau sesuai, yang kemudian akan dicarikan lagi ramuan yang lebih mantap. Bisa jadi dosis yang terlalu tinggi, terlalu rendah, atau mungkin ada komplikasi dengan penyakit lainnya, yang perlu lagi diagnosis dari dokter lainnya. Atau mungkin sudah begitu parahnhya penyakit, yang harus dilakukan operasi (besar atau kecil).

Berdasarkan analisis penulis, penyebab utama maraknya dan masivnya akativitas PETI di Kuansing dan juga di tempat lainnya di Tanah Air, disebabkan oleh empat faktor, yaitu;

a) hilangnya mata pencaharian utama masyarakat, 
b) rendahnya kesadaran lingkungan, 
c) kedidakberdayaan pemerintah, dan 
d) lemahnya penegakan hukum. 

Dalam tulisan ini,  karena keterbatasan ruang hanya akan diuraikan  penyebab utama dari aspek hilangnya mata pencaharian masyarakat. Sementara yang lainnya, insyaAllah dalam tulisan berikutnya. 

Mengapa mata pencaharian hilang? Hal ini berkaitan erat dengan semakin masivnya aktivitas ekonomi jangka pendek untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan konon kabarnya untuk membuka lapangan pekerjaan di berbagai bidang. Namun, sayangnya aktivitas ekonomi tersebut banyak yang membumihanguskan dan memusnahkan SDA dan lingkungan yang ada, yang pada umumnya aktivitas ekonomi ini dijalankan oleh badan usaha berskala menengah dan besar dalam bentuk korporasi atau perusahaan. Sebagai contoh di Kuansing, dengan masuk dan beroperasi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kehutanan sejak akhir tahun 1980an  yang kemudian secara perlahan dan pasti mengambil alih hutan ulayat masyarakat Kuansing, sehingga akhirnya hutan primer dan sekunder menjadi hilang dan punah dan berganti dengan areal perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Padahal hutan beserta ekosistemnya adalah diantara arena utama masyarakat untuk melakukan berbagai aktivtas ekonomi dan sosial-budaya  secara turun temurun. 

Musnahnya hutan adalah pintu utama dan awal hilangnya berbagai mata pencaharian masyarakat Kuansing. Karena, hutan beserta ekosistem di dalamnya adalah arena yang sangat potensial untuk menjalankan aktivtas ekonomi dan sosial-budaya masyarakat secara berzaman. Mereka mengambil kayu sebagai sumber utama untuk bahan bangunan untuk rumah dan gedung, perahu, jalur, perabot, pagar kebun, kayu bakar dan yang lainnya. Selain itu, di dalam ekosistem juga menyajikan berbagai kekayaan yang bernilai komersial untuk aktivitas ekonomi, seperti; madu hutan, damar, gaharu, getah jelutong, rotan, cempedak hutan, petai, kabau, tampoi, barangan,  dan berbagai macam fauna ( anekaragam burung, mamalia, reftilia, dan yang lainnya). Belum lagi jika dimasukkan bahan-bahan untuk pengobatan  dan kesehatan yang  berasal dari dedaunan, akar, umbi atau buah dari flora yang berasosiasi dengan ekosistem hutan.

Hilang dan musnahnya hutan juga berkelindan dengan berpindahnya kepemilikan dan penguasan tanah milik masyarakat/ulayat kepada korporasi dan perusahaan. Akibatnya, lahan untuk bercocok tanam  seperti karet, kelapa, kopi, coklat, cengkeh, durian, rambutan, manggis, duku, rambai semakin menciut dan habis. Begitu juga lahan untuk tanaman palawija; jagung, gambas, mentimun, cabe, terong, kacang panjang, kedele, pisang, dan yang lainnya makin menyempit. Sehingga mata pencaharian masyarakat secara perlahan dan pasti semakin tergerus dan terpinggirkan. Sementara pekerjaan yang ditawarkan oleh pihak korporasi dan perusahaan tidak sebanding dengan angkatan kerja masyarakat. Dan secara sosiologis dan psikologis juga masih belum dapat diterima oleh masyarakat, karena latar belakang pendidikan, keahlian dan kebiasaan. 

Dampak berikutnya adalah semakin tergerusnya padang penggembalaan hewan ternah; kerbau, sapi, kambing dan itik. Hal ini juga berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan punahnya hutan dan alihfungsi lahan. 

Rusak  dan musnahnya hutan juga berkaitan erat dengan populasi ikan di sungai dan danau. Kini, ikan udang, lokan dan cipuik  sudah semakin sulit didapatkan dan tidak bisa lagi diandalkan untuk mata pencaharian bagi mayoritas masyarakat. Padahal dahulunya, hutan dan sungai adalah arena aktivitas ekonomi utama masaryakat. Jika di hutan tidak menghasilkan ekonomi, maka masyarakat berpindah ke sungai/danau. Begitu juga sebaliknya. Jadi, memang sumber utama rezeki secara tradisi di Kuansing ada dari dua pintu utama; darat (hutan dan tanah) dan air (sungai/danau).


Dan secara alamiah juga sudah diatur oleh Allah yang Maha Kuasa, dinamika dan perputan rezeki tadi, ada masa tertentu rezeki dari sungai/danau dan ada masa tertentu rezeki dilimpahkan melalui jalur darat (hutan dan tanah). Secara bergilir, dan kadang kadang rezeki dialirkan secara serentak dari dua arah tadi; darat dan air. Siklus itu yang sekarang sudah berganti dan berubah, seiring dengan pemanasang global yang kemudian berimplikasi kepada perubahan iklam global (climate change), yang dampaknya menjalar dan menyerbu ke seluruh penjuru dunia, kota dan desa. 

Jadi, di antara penyebab utama, marak dan sukarnya diberatas aktivitas PETI adalah karena desakan dan tekanan ekonomi yang menghimpit masyarakat Kuansing. Mereka bekerja sebagai tenaga kerja kasar pada aktivtias PETI secara terpaksa ataupun rela, karena desakan ekonomi dan sesuap nasi untuk kehidupan keluarga. Karena arena bekerja yang diwariskan secara berzaman, yaitu hutan, tanah dan sungai/danau sudah tidak banyak bisa diharapkan lagi. 

Peluang serta  kilauan emas dari PETI yang menggoda, kemudian  dikelola secara cerdas oleh para mafia PETI melancarakan aksinya untuk menghasilkan pundi pundi uang. Jadi ada semacam kerjasama yang saling menguntungkan dalam bentuk simbiosis mutualisme antara jeritan ekonomi masyarakat miskin di satu sisi dengan godaan fulus menjanjikan dari para mafia PETI dari sisi lainnya. Mafia PETI adalah orang orang dibalik layar atau dalam layar yang mendanai, menggagas dan dalang dalam aktivitas PETI dengan keuntungan finansial  berlipatganda, yang  terdiri dari pemodal (kapital), oknum aparat desa dan keamanan, oknum pejabat, elit politik dan penegak hukum. Mereka bekerja secara profesional untuk mencari  laba, yang berbeda dengan masyarakat sebagai perkerja PETI atan tanahanya dikontrak untuk aktivitas PETI,  yang sekedar untuk dapur berasap. Sungguh ironi dan memprihatinkan.(Bersambung)


Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Pengurus Bidang Sosial dan Agama IKKS Pekanbaru