Penyebab Utama Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kuansing

Ahad, 13 Desember 2020

(Bagian Kedua)

oleh: Dr. Apriyan D. Rakhmat, M.Env

SEPERTI telah dijelaskan pada bahagian pertama dalam harian ini (Amanahnews,  07 Desember 2020), bahwa berdasarkan analisis penulis, terdapat empat penyebab utama maraknya PETI di Kuansing, yaitu; a) hilangnya mata pencaharian utama masyarakat, b) lemahnya penegakan hukum, c) rendahnya kesadaran lingkungan,  dan d) kedidakberdayaan pemerintah.

Pada bagian pertama telah dijelaskan secara panjang lebar berkenaan penyebab utama oleh hilangnya mata pencaharian utama masyarakat. Pada bagian  kedua, akan dijelaskan penyebab utama berikutnya, yaitu; lemahnya penegakan hukum berkaitan dengan pemberantasan PETI di Kuansing.

Secara umumn, telah disepakati bahwa aktivitas PETI merupakan salah satu bentuk kejahatan lingkungan (environmental crime), dimana aktivitas ini adalaha bersifat illegal, tidak ada izin, atau bisa juga dikatakan usaha haram, meminjam istilah pendatang haram bagi tenaga kerja Indoensia (TKI)  yang tidak berizin di Malaysia.

Kenapa dikatakan haram? Karena begitu merusak dan memudharatkan kehidupan manusia, flora dan fauna serta  ekosistem secara keseluruhannya. Dampak negatifnya jauh lebih besar berbanding dampak positif yang dihasilkannya. Jika mengiktui hukum Agama, dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapatkan ganjaran pahala. Dan perbuatan haram temapatnya adalah dineraka. Seburuk buruk tempat tinggal manusia di akhirat kelak.

Jadi, alot dan liatnya pemberantasan PETI yang sudah berlangsung hampir dua dekade di Kuansing, juga disumbangkan oleh masihn lemahnya penegakan hukum (law enforcemant) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di negara kita, khsusunya di Bumi Pacu Jalur,  Kuansing, yang terdiri dari  tiga unsur utama, yaitu; aparat kepolisan, jaksa dan hakim.

Lemahnya penegakan hukum, khususnya dari aparat kepolisian dapat dilihat dari beberapa dimensi. Pertama, karena terbatasnya personel kepolisian yang ada, dibandingkan dengan jumlah masyrakat di Kuansing, luasnya wilayah hukum dan banyaknya aktivitas PETI. Dengan terbatasnya jumlah personel aparat kepolisian, maka usaha pemberantasan PETI juga menjadi kurang efektif dan efisien. Secara umum memang disadari bahwa jumlah aparat kepolisian di negara kita memang masih belum ideal, dimana rasionya dengan jumlah penduduk masih rendah. Kedua, masih adanya oknum aparat polisi yang terlibat dalam jaringan mafia PETI, yang kerap membocorkan operasi pemberantasan PETI. Atau juga, oknum aparat polisi yang melindungi dan membeking aktivitas PETI. Sehingga dengan masih adanya oknum aparat kepolisian yang terlibat, maka usaha pemberantasan PETI juga ikut terhambat. Walaupun sanksi hukum yang cukup berat jika terbukti terlibat.

Ketiga, masih terkesan lamban atau kurang seriusnya aparat kepolisian di dalam pemberantasan PETI, terutama langkah-langkah pencegahan, termasuk juga mungkin masih kurangnya sosialisasi di tengah masyarakat, bahwa aktivitas PETI sebenarnya melanggar hukum. Seharusnya aparat polisi juga gencar melakukan sosialiasi kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada kawasan yang rawan dan potensial aktivitas PETI. Membuat banner, spanduk atau baliho  akan larangan dan ancaman bagi pelanggar aktivitas PETI, seperti yang banyak dilakukan untuk pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Ada kesan, bahwa aparat kepolisian lebih bersifat pasif dalam usaha pemberantasan PETI, dimana akan bergerak dan turun jika ada menerima laporan dari masyarakat, atau terjadi korban jiwa, seperti kasus meninggalnya seorang pelajar Rof (18) akibat tertimbun pasir dalam aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) menggunakan mesin dompeng di Desa Sungai Alah Kecamatan Hulu Kuantan, Ahad (27/9/2020).

Jika tidak ada masyarakat yang melaporkan atau terjadi korban jiwa maka polisi cuek dan santai saja. Sementara, masyarakat desa tidak terbiasa dan cakap dalam urusan lapor melaporkan. Bahkan mereka sebagaian takut melapor, karena jika salah lapor bisa bisa mereka yang terlaporkan kemudian. Ada anekdot, melaporkan kehilangan kambing, justru kerbau yang jadi korban. Alias, besar pasak dari tiang. Sebab, aktivitas PETI dibeking oleh mafia PETI. Masyarakatpun kemudian semakin apatis dan jengkel, karena harus melaporkan dulu, baru diambil tindakan. Begitu seterusnya.

Keempat, masih kurangya profesional aparat kepolisian di dalam melakukan razia dan sidak  aktivitas PETI, karena masih bisa dikelabui oleh pelaku PETI. Dimana, pelaku PETI dan mafia yang ada di belakangnya jauh lebih profesional, sehingga mereka kerap terlepas dari setiap razia yang dilakukan. Kelima, mungkin masih terbatasnya anggaran kepolisian untuk melakukan upaya pemberantasan PETI (mulai dari pencegahan, razia, sidak, sosialisasi dan yang sejeninsya), selain terbatasnya jumlah personal aparat kepolisian.

Keenam, rendahnya sanksi yang diterima bagi pelaku PETI. Jarang kita dengar berita bahwa pelaku dan mafia PETI yang sampai dipenjara atau didenda akibat aktivitas PETI. Tercatat, selama setahun Kapolres bertugas, sebanyak 21 berkas perkara dengan 34 pelaku sudah diproses hukum karena melakukan aktivitas PETI (Riau Pos, 30 September 2020). Proses hukum yang dilakukan oleh Polres Kuasing seperti berita di Harian Umum Riau Pos di atas, masyarakat juga banyak yang tidak tahu apa keputusan dari proses hukum tersebut yang bisa jadi efek jera bagi warga masyarakat lainnya yang akan melakukan aktivitas PETI -apakah dipenjara, didenda atau hukuman lainnya- karena minimya pemberitaan dari media masa, elektronika, dan sosialisasi dari Polres, atau hanya sekedar proses hukum saja, tanpa ada sanksinya, alias dimaafkan atau diselesaikan secara damai.  Akibatnya,  pelaku dan mafia PETI tidak khawatir untuk dihukum akibat perbuatanya. Paling banter hanya kerugian material berupa lenyapnya peralatan dan bahan-bahan untuk aktivitas PETI ketika razia dilakukan. Dimana, dalam setiap razia biasanya langsung dilakukan pembakaran dan pemusnahan mesin dompeng dan barak tempat para pekerja serta sarana dan prasaranan pendukung lainnya.

Tidak seperti pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla), yang sudah banyak dipenjara dan didenda akibat perbuatannya. Atau mungkin juga, gaung aktivitas PETI hanya terkungkung di Kuansing dan Riau saja, belum sampai menggema sampai ke pusat (Jakarta). Dan dampaknya juga belum signifikan terhadap pusat. Berbeda dengan isu kebakaran hutan dan lahan, yang sudah menembus isu nasional, regional hingga internasional. Bersambung. Allahu a’lam.

 

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Pengurus Bidang Sosial dan Agama IKKS Pekanbaru