Corona Hanya Akan Menyerang Siswa?

Selasa, 09 Maret 2021

Dian Ratna Sari. (Dok Pribadi)

Oleh: Dian Ratna Sari
Plt Gubernur BEM FKIP UIR/Fungsionaris Pengurus HmI Cabang Pekanbaru

PANDEMI corona virus desease 2019 (covid-19) berdampak besar pada berbagai sektor, salah satunya adalah bidang pendidikan. Dunia pendidikan ikut merasakan dampak yang sangat serius. Pendidik harus memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan, bagaimana pun kondisinya.

Sementara sekolah dan perguruan tinggi di tanah air masih diliburkan dan diganti dengan kegiatan belajar di rumah. Tentu hal ini menimbulkan respon berbeda-beda dari masyarakat. Ada yang menanggapi sebagai suatu hal yang wajar dan ada yang tidak menerima dengan baik. Akan tetapi mau tidak mau harus di lakukan untuk meminimalisir penularan virus corona yang katanya sangat berbahaya.

Hal Ini sesuai dengan ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).

Sistem pembelajaran dilaksanakan melalui perangkat personal computer (PC) atau laptop yang terhubung dengan koneksi jaringan internet. Pendidik dapat melakukan pembelajaran bersama di waktu yang sama menggunakan grup di media sosial seperti WhatsApp (WA), telegram, instagram, aplikasi zoom ataupun media lainnya sebagai media pembelajaran.

Belajar dari rumah dibandingkan belajar dari sekolah  pasti berbeda. Jika diadakan seperti biasa maka akan memperlancar komunikasi dan interaksi antara pendidik dan peserta didik  tentunya proses belajar lebih lancar dan efektif. Namun tidak dengan belajar via daring.   

Apakah para orangtua peserta didik akan menggantikan peran guru? Atau guru akan 'menyiksa' peserta didik dengan menyiapkan berjibun pekerjaan rumah (PR)?

Saat ini sekolah telah menginstruksikan pembelajaran di rumah dengan sistem daring (e-learning). Hal ini berbanding terbalik dengan sekolah yang berada di pelosok desa dengan segala keterbatasannya. Misalnya, daerah tertinggal yang belum dijamah internet. 

Hal ini tidak hanya dikeluhkan oleh siswa atau orang tua siswa. Namun juga dikeluhkan oleh mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mengikuti belajar via daring karena akses internet di tempat tinggal kurang memadai.

Proses pembelajaran di rumah dilakukan dengan cara daring bisa dilakukan  siswa yang memiliki gawai. Akan tetapi, persoalannya menjadi ironi karena tidak semua orangtua dan peserta didik memiliki gawai yang sudah dilengkapi dengan sistem Android. Karena keterbatasan sarana belajar, yang bisa dilakukan para orangtua peserta didik. Mau tidak mau hal ini harus dijalani oleh semua peserta didik yang ingin tetap mengikuti pembelajran dan mencapai tujuan belajar.

Persoalan di atas memperlihatkan ketimpangan dalam aktivitas pembelajaran. Itu menunjukkan persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pendidikan yang selama ini kurang mendapat perhatian. Satu persoalan di atas bisa berakibat panjang bagi perkembangan peserta didik di kemudian hari jika musibah ini tak kunjung usai. 

Dalam budaya pragmatisme antara 'kesadaran palsu' masyarakat dan institusi pendidikan telah menemukan momentumnya, yakni sama-sama memahami pendidikan (ijazah) sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Tentu, hal itu tidak lepas dari retorika pembangunan nasional yang digaungkan.

Sementara itu, ada beberapa sekolah telah menetapkan kebijakan belajar di sekolah dan beberapa sekolah menetapkan system “Blended Learning”. Sekolah dilakukan dengan dua cara, Yakni secara daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan). Akan tetapi hal ini hanya berlaku untuk sekolah-sekolah, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA). 

Hal tersebut tidak berlaku pada perguruan tinggi yang ada di Indonesia, Mahasiswa hanya boleh berkuliah secara daring saja dan tidak dibenarkan untuk masuk tatap buka seperti biasa. Padahal jika di kaji persoalan belajar secara daring maka didapatkan hasil yang tidak maksimal karena beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor akses internet yang tidak lancar di berbagai daerah di Indonesia umumnya dan Provinsi Riau Khususnya seperti daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3 T).

Dalam kebijakan Kampus Merdeka secara terang-terangan mempertegas 'manuver' pendidikan dengan menjungkirbalikkan academic values ke corporate values (dari nilai humanistis ke nilai materialistis). 
Menyoal ketercapaian suatu pendidikan yang menuntut ketersampaian materi dan tercapainya kemampuan psikomotorik, afektf dan kognitif tidak bisa sepenuhnya dilakukan proses pembelajaran dari rumah take at home. Karena hal tersebut hanya bisa dilakukan pembelajaran tatap mudka seperti biasa. ***