Autisme dan Pandemi

Jumat, 02 April 2021

Lebih setahun sudah pandemi Covid-19 melanda hampir semua belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Situasi sulit namun tetap harus dijalani menyebabkan ruang gerak manusia menjadi sangat terbatas. 

Tak terbayang pada awal-awal virus Corona masuk ke Indonesia awal Februari 2020, dimana sebelumnya kita merasa tayangan-tayangan tentang virus Corona di Wuhan China melalui televisi maupun internet dan media sosial (medsos) layaknya menonton tayangan film-film luar tentang alien dan manusia-manusia yang terserang virus aneh, tentang imajinasi sang sutradara mengenai masa depan atau suatu masa tertentu yang mengerikan. Orang-orang yang tengah berdiri atau beraktivitas tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri bahkan mati.

Kini, virus itu ada di depan mata, bahkan ada di tengah lingkungan kita. Banyak masyarakat yang shock. Shock karena ingatan kembali ke Wuhan China dan shock dengan keadaan dengan ruang dan gerak yang terbatas. Dimana sebelumnya masyarakat Indonesia terbiasa dengan kerumunan, perayaan atau acara kumpul-kumpul bareng teman, sahabat dan keluarga. Suasana kekeluargaan sangat kental dirasakan saat tinggal di Indonesia. Tapi Corona mengubah semuanya.

Namun kehidupan tetap terus berlanjut dan berjalan, apapun situasi dan kondisinya. Terlebih saat pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Rumah makan, restoran, tempat wisata, tempat hiburan, mall, pasar ditutup, bahkan sekolah pun diliburkan. Demikian juga dengan kegiatan di rumah ibadah. Benar-benar situasi yang menyeramkan untuk sebagian besar masyarakat. 

Pandemi, Situasi Terberat bagi Penyandang Autis

Sisi lain dari Pandemi Covid-19 kita sering melupakan ada sekelompok kecil masyarakat yang mungkin jarang tersentuh, yang pada masa Pendemi shocknya melebihi masyarakat umumnya, yaitu para penyandang autisme berserta keluarganya. Betapa tidak, rutinitas anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA) harus menjalani terapi untuk dapat meminimalisir gangguan yang dideritanya. Sedangkan masa pandemi, sekolah-sekolah diliburkan. Demikian pula pusat-pusat terapi juga dibatasi dan juga sekolah khusus bagi penyandang autis. Untuk memindahkan terapi ke rumah sangatlah sulit karena orang tua banyak yang tidak punya bekal ilmu dan keahlian dalam menterapi anaknya. Karena memang seorang terapis harus memiliki ilmu dan keahlian khusus yang tentu diperolehnya terlebih dahulu dalam jenjang pendidikan atau pelatihan. Sementara untuk mendatangkan terapis ke rumah diperlukan biaya yang relatif mahal. Dan tentu dengan menanggung resiko jika si terapis terjangkit virus Corona. 

Anak-anak GSA yang sulit berkomunikasi dan berinteraksi akan merasa sangat terbatas dengan pembatasan kerumunan atau pembatasan jarak yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Corona. Mereka yang sudah terbatas, dibatasi lagi dengan ruang dan gerak. Ini tentunya akan mengecilkan kesempatan bagi GSA untuk bisa sembuh.

Bahkan pada hari ini setiap tanggal 2 April, penduduk dunia biasanya memperingati Hari Peduli Autisme Sedunia dengan berbagai macam kegiatan. Begitupun di Indonesia. Pusat-pusat terapi dan juga Dinas Pendidikan Pusat dan Daerah menggelar berbagai kegiatan untuk anak-anak GSA dan masyarakat sebagai sosialisasi dan upaya penerimaan keberadaan GSA di tengah-tengah masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang sering digelar seperti gerak jalan santai masyarakat bersama para penyandang autisme, membuat pameran hasil karya anak-anak autis, atau juga menggelar kesenian dan kreativitas GSA dan kegiatan menarik lainnya.

Namun dengan kondisi Pandemi yang belum pulih pada tahun kedua ini, lagi-lagi kegiatan-kegiatan seperti itu tetap belum bisa dilakukan. Pasien terkonfirmasi Covid-19 terus ada dan bertambah setiap hari. Meski penambahan juga terjadi bagi pasien sembuh dan yang meninggal dunia tersebab Covid-19. Data per tanggal 2 April 2021 mengungkapkan pasien positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 1.523.179, pasien sembuh 1.361.017, dan yang meninggal dunia 41.151 orang.

Peran dan Dukungan Keluarga Sangat Penting 

Semua masih serba dibatasi, situasi belum pulih. Melihat kondisi ini tentu, penyembuhan terbaik bagi penyandang autis adalah mengandalkan peran keluarga. Hal ini juga diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA DR. dr. Fidiansyah, Sp.KJ, MPH pada peringatan hari Peduli Autisme pada tahun lalu, di awal Pendemi. Ia mengatakan di tengah situasi Pandemi ini, peran keluarga sangatlah penting dalam memberikan dukungan dengan menciptakan suasana yang aman dan nyaman selama di rumah serta pendampingan bagi anak gangguan spektrum autisme meskipun ada pembatasan sosial dan ruang gerak.

Tak hanya mendampingi, keluarga juga diharapkan turut memberikan pemahaman serta edukasi mengenai wabah Covid-19 seraya memberikan contoh konkrit pencegahannya. Pendampingan orangtua diharapkan dapat mengupayakan individu dengan GSA tidak terkena Covid-19, karena tidak dapat dibayangkan sulitnya penanganan individu dengan GSA jika terkena Covid-19, dengan ketidakmandiriannya dan keterbatasan kemampuannya individu GSA memerlukan pengawasan dan pendampingan. Jika individu GSA terkena Covid-19, tentunya orangtuanya juga ikut diisolasi mandiri ataupun di isolasi di tempat yang telah ditetapkan pemerintah. Rasa bosan atau ketidakbisaan individu GSA berada dalam kondisi tertentu yang lebih lama menyulitkan mereka untuk bisa menetap di ruang terbatas. Karena kadang individu GSA memerlukan refreshing atau rekreasi untuk mengendurkan syaraf pikiran mereka yang memang sudah terganggu.

Pesan dr Fidiyansah ketika itu keluarga diharapkan bisa menjelaskan situasi yang terjadi saat ini dan memberikan contoh perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Seberat apapun, orang tua dan orang-orang terdekat para penyandang autis memang harus berperan ekstra atau berperan ganda untuk menyelamatkan anaknya dari ganasnya virus Corona. Semoga virus ini segera berlalu, kehidupan pun kembali normal. Selamat Hari Peduli Autisme Sedunia....

 

Rini Imron, SIp

Redpel AmanahNews.com

(Pernah bergabung dalam Forum Pengembangan Anak Penyandang Autis (FPAPA) Provinsi Riau)