CPI Dinilai Tidak Responsif Selesaikan Sengketa Lingkungan Hidup Dengan Masyarakat di Riau

Ahad, 04 April 2021

Kasi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dinas LHK Provinsi Riau, Dwiyana. (Foto: dok-ANews)

PEKANBARU (ANEWS) – PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dinilai tidak responsif terhadap penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (SLH) dengan masyarakarlt sekitar. Seyogianya CPI harus tetap bertanggungjawab menyelesaikan SLH, walaupun kontrak kerjasama PT CPI bakal berakhir 21 Agustus mendatang.

Penegasan itu disampaikan Kepala Seksi (Kasi) Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi Riau, Dwiyana kepada Redaksi Amanah News di Pekanbaru, Ahad (4/4/2021).

Dwiyana mengakui, bagaimanapun juga sudah bisa dibuktikan sengketa lingkungan hidup tersebut timbul akibat pencemaran limbah minyak Bumi di Riau.

“Berdasarkan hasil verifikasi sengketa lingkungan hidup yang kami lakukan, bahwa SLH itu terjadi akibat perbuatan melanggar hukum/ketidaktaatan serta kesalahan PT Chevron Pasific Indonesia. Akibatnya lingkungan hidup dan masyarakat mengalami kerugian,” ujarnya.

Dwiyana menambahkan, jika limbah lumpur bor PT CPI diangkut dan dibawa ke pusat pengolahan lumpur Bor dan limbah dari GS dikelola dengan benar, serta air terproduksi dibuang tidak melebihi baku mutu, maka heavy/crude oil tidak akan mencemari kawasan hutan, sungai, dan lahan masyarakat.

Salah satu hamparan lahan masyarakat yang dipenuhi limbah B3 di kawasan Minas, Riau. (Foto: Ist/ANews)

Limbah B3 itu sengaja tidak dikelola, bahkan ada yang sengaja dibuang degan truk Tanki di lahan masyarakat. Ini jelas praktek dumping limbah illegal yang cukup meresahkan masyarakat sejak lama,” bebernya.

Dia menyebutkan, sejak UU No 4 tahun 1982 ttg ketentuan ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, kemudian UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, jelas dinyatakan barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kerugian kepada penderita yang telah dilanggar hak nya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Merujuk pada UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat itu merupakan hak asasi setiap manusia, kondisi lingkungan yang tercemar dan juga pencemaran yang terjadi di lahan masyarakat, menyebabkan masyarakat tersebut juga dilanggar HAM-nya.

Ini jelas PT Chevron Pasific Indonesia mempunyai tanggung jawab mutlak/strict liability dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk membayar kerugian lingkungan hidup dan masyarakat serta melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup, jadi bukan tanggung jawab PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR).

Kemudian dalam permen LHK 101/2018 tentang pedoman pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3, Pemerintah (Pemprov, Pemkab, Pemko) sesuai kewenangannya melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 apabila tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran. Namun sebaliknya dalam hal pihak yang bertanggung jawab kemudian diketahui, Pemerintah/ Pemprov / Pemkab/kota sesuai kewenangannya membebankan penggantian atas setiap biaya yang dikeluarkan dalam pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 kepada pihak yang bertanggung jawab.

“Memang sudah ada lebih 125 lokasi yang diperintahkan oleh KLHK kepada PT CPI untuk melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3. Rencana anggaran biaya pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 tersebut mendapat persetujuan dari SKK MIGAS,” tegas Dwiyana.

tersebut sudah tepat karena PT CPI lah yang melakukan pencemaran di lokasi yang harus dipulihkan tersebut. Namun menurutnya masih banyak lagi yang ditemukan. Ratusan lokasi lahan masyarakat yang harus segera dipulihkan oleh PT CPI sehingga kerugian lingkungan hidup dan masyarakat tidak semakin besar.

Ditanya, apakah SKK MIGAS selama ini mempunyai kewenangan melakukan diskresi untuk mengalihkan tanggung jawab akibat dosa-dosa yang telah dibuat PT Chevron Pasific Indonesia dengan menyetujui biaya pemulihan pelanggaran lingkungan hidup yang berjumlah triliunan rupiah dikembalikan kepada PT CPI dalam skema PSC (production sharing contract) atau mengalihkan tanggung jawab PT. PHR setelah 8 Agustus 2021?

“Soal itu silahkan tanya ke SKK MIGAS. Kita berharap Jangan sampai DBH Migas berkurang karena untuk menanggung pelanggaran yang dilakukan PT Chevron Pasific Indonesia dan PT Caltex Pasific Indonesia, sehingga merugikan masyarakat Indonesia,” pungkas Dwiyana. (*/ZET)