Pencemaran Limbah B3 PT Chevron Pacific Indonesia Berimplikasi Serius Berkurangnya DBH Migas Riau

Senin, 31 Mei 2021

Dwiyana, Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dinas LHK Provinsi Riau. (Ft.DokPri)

Oleh: Dwiyana
Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dinas LHK Provinsi Riau

SUDAH lama rasanya masyarakat tidak mendengar peringkat PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) dalam Proper (Program Penilaian peringkat kinerja dalam pengelolaan lingkungan),  mungkin karena  PT CPI tidak jelas mendapat peringkat nilainya alias abu-abu, apakah mendapat nilai abu-abu antara hitam dgn merah, atau abu-abu antara hijau dengan Emas. 

Keabu-abuan peringkat proper PT CPI diduga karena saat periode penilaian, ada ketidaktaan PT CPI dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atau PT CPI sedang mendapat sanksi.

Sejak tahun 2010, Salah satu kewajiban PT CPI sebagai Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki dokumen lingkungan antara lain melaksanakan audit lingkungan hidup. Paling tidak sejak tahun 2014 PT CPI seharusnya sudah melakukan audit lingkungan setiap 5 tahun, tapi masyarakat dan pihak-pihak terkait tidak pernah melihat atau mendengar ada pengumuman pelaksanaan audit LH tersebut. 

Audit lingkungan hidup setiap 5 tahun sekali diwajibkan terhadap usaha atau kegiatan pertambangan minyak Bumi dengan kriteria produksi 10.000 BOPD ke atas, karena usaha tersebut beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup, dan atau kegiatan/usaha  yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Disini peran SKK MIGAS juga dipertanyakan, karena anggaran dan kegiatan KKKS selalu dan harus mendapatkan persetujuan SKK MIGAS. Sejauh mana  pengawasan yang dilakukan SKK MIGAS kepada KKKS.
Pelaksanaan Audit lingkungan hidup PT CPI pada tahun 2020 juga dipertanyakan, kenapa baru dilaksanakan, tujuan audit nya apa, ruang lingkup dan batasan auditnya apa, metode pelaksanaan audit bagaimana, tidak pernah ada pengumuman dan pemberitahuan kepada stakeholder di daerah dan masyarakat yang terdampak kegiatan PT CPI.

Menurut saya, audit LH PT CPI tersebut tidak meliputi lahan2 masyarakat yang tercemar limbah B3 PT CPI. Sehingga apapun rekomendasi dari pelaksanaan audit LH tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara masyarakat dengan PT CPI. 

Sejak 2017 PT CPI telah diperintahkan oleh KLHK untuk melaksanakan Pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 pada 132 lokasi. Namun di luar itu masih banyak lokasi lahan masyarakat yang tercemar limbah B3 PT CPI yg belum dipulihkan, lebih dari 300 lokasi dan saya yakin 100% jumlah ini masih akan terus bertambah.

Kenapa PT CPI yang diperintahkan KLHK melakukan pemulihan lahan terkontaminasi minyak bumi, karena sudah diketahui secara jelas dan akurat PT CPI lah pihak yang bertanggung jawab mutlak karena telah melakukan pencemaran limbah B3 pada lokasi-lokasi tersebut. 

Hal ini juga telah sesuai UU No 4 tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, kemudian UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juncto UU No 11 TAHUN 2020 tentang cipta kerja,  jelas dinyatakan barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Dalam Permen LHK 101/2018 tentang Pemulihan Lahan terkontaminasi Limbah B3, Pemerintah sesuai kewenangannya melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 apabila tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran. Namun apabila kemudian pihak yang bertanggung jawab diketahui, pemerintah sesuai kewenanganya membebankan penggantian atas setiap biaya yang dikeluarkan dalam pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 kepada pihak yang bertanggung jawab.

Biaya pengelolaan lingkungan termasuk pemulihan lingkungan merupakan bagian dari biaya operasi dalam cost recovery itu benar. Tapi itu dalam kondisi normal, yaitu biaya pengelolaan lingkungan hidup dan pemulihan pada fasilitas produksi sampai dengan pengiriman minyak Bumi ke pelabuhan.  

Tapi di Wilayah Kerja Blok Rokan adalah dalam kondisi abnormal dimana pencemaran limbah B3 terjadi di kawasan hutan, lahan masyarakat dan sempadan sungai. KKKS melakukan perbuatan melawan hukum, melanggar kewajiban, melakukan kesalahan, tentu KKKS punya tanggungjawab mutlak untuk mengganti kerugian masyarakat dan lingkungan hidup serta bertanggung jawab melakukan pemulihan.
 
Namun selama ini biaya pemulihan akibat pencemaran yang dilakukan PT CPI ditanggung oleh negara melalui pengembalian dana cost recovery yang disetujui oleh SKK MIGAS. Kondisi ini tentunya akan mengurangi nilai DBH MIGAS yang diterima provinsi Riau dan kabupaten/kota.

Pencemaran yang dilakukan PT CPI bukan hanya karena minyak bumi kategori limbah B3 atau bukan limbah B3, tapi juga liat kandungan logam beratnya pada limbah yang dihasilkan dan konsentrasi minyak dan lemak dalam air terproduksi nya, yang telah menimbulkan dampak negatif terhadap media lingkungan yang tercemar.  

Pencemaran tersebut jelas memberikan dampak terhadap biota perairan. Sedikitnya jumlah jenis plankton yang hidup di perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut kurang mendukung bagi kehidupan biota di dalamnya. Tingginya kadar minyak dan lemak yang tersuspensi dalam air akan mengakibatkan terpengaruhnya permukaan "epithelial" insang ikan sehingga respirasi terganggu.
 
Selain itu dengan konsentrasi minyak bumi di perairan sebesar 1,0 mg/l dapat menyebabkan tainting (aroma minyak) pada ikan walaupun pada konsentrasi tersebut ikan belum mengalami keracunan. Jika ikan dan air yang mengandung logam berat dikonsumsi atau digunakan dalam rantai makanan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.   

Kandungan logam berat pada tanah atau air yang tercemar limbah B3 PT Chevron jelas memiliki bahaya bahan beracun sangat tinggi, sehingga risiko muncul penyakit degeneratif baik kanker maupun non kanker akan dialami masyarakat yang cukup luas.

Overlay wilayah kerja Blok Rokan dengan peta kawasan hutan Riau. (Dok-ANews)
 
PT CPI dan SKK MIGAS agar dibaca kembali dokumen lingkungan kegiatan operasi WK Blok Rokan dari masa lalu, jelas kewajiban PT CPI mengangkut lumpur bor dari pengeboran ke pusat pengolahan lumpur bor, untuk dilakukan pengelolaan sebelum dibuang ke media lingkungan, demikian juga limbah yang berasal dari gathering station harus dikelola. 

Faktanya sekarang jutaan limbah heavy/crude oil berserakan di kawasan hutan, dilahan masyarakat, dan mengalir di sungai sampai jauuuuh. Siapa yang menikmati biaya pengangkutan lumpur bor dari lokasi pengeboran minyak Bumi  ke pusat pengolahan lumpur bor, kemana biaya pengolahan limbah (lumpur bor) karena faktanya lumpur bor tersebut sengaja dibuang sembarangan, bukan dikelola,  
Itu jelas bukti perbuatan melawan hukum. 

Dimana di dunia ini yang menerapkan teknik pertambangan migas yang membolehkan limbah lumpur bor dibuang di hutan, lahan masyarakat dan sungai atau laut??. Dokumen lingkungan mana yang menjadi acuan PT CPI dalam melakukan kegiatan??, apakah itu yang dinamakan kaidah-kaidah keteknikan dan lingkungan yang baik. 

Kalau PT CPI sejak dulu taat, tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan kesalahan, saat ini tidak akan mengakibatkan pencemaran dan menyebabkan lahan masyarakat tercemar dan terkontaminasi minyak bumi yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup dan kerugian masyarakat. 

Bahwa PT CPI aktif melakukan proses verifikasi yang menjadi aduan masyarakat itu tidak benar. Faktanya sebagian besar masyarakat yang mengadu ke Dinas LHK Provinsi Riau karena tidak ada penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dari PT CPI. 

Kemudian saat ini PT CPI tidak mau menerima lagi pengaduan masyarakat yang lahannya tercemar limbah B3. PT. CPI bahkan mengarahkan agar masyarakat yang mengadu supaya menyampaikan pengaduan langsung ke Dinas LHK Provinsi Riau, dan supaya nantinya ditangani oleh PT Pertamina Hulu Rokan. Ini jelas PT CPI mau lepas tanggung jawab.

Pemprov Riau dan beberapa kabupaten sudah sejak lama aktif memfasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup ratusan masyarakat dengan PT CPI, yang saat ini ada lebih 300 lokasi. 

Namun yang terjadi PT CPI tidak efektif dan mengulur waktu dengan alasan keterbatasan Tim dan segala sesuatunya harus mendapat persetujuan SKK Migas, sementara SKK Migas kita undang rapat tapi sering tidak hadir. Situasi ini membuktikan kegiatan migas di Blok Rokan oleh PT CPI tidak memenuhi kelayakan lingkungan karena PT CPI terbukti tidak mampu menanggulangi dampak negatif yang timbul dari usahanya. 

Kalau PT CPI akftif dan jujur menyelesaikan pengaduan masyarakat, dan melakukan pengelolaan limbah B3 dan pemulihan lingkungan hidup sesuai regulasi,  harusnya 10 tahun yang lalu permasalahan ini sudah selesai dan tidak menimbulkan masalah hukum dimasa lalu maupun di masa yang akan datang. ***