Makin Membuat Risih, Model Komunikasi Antara Pejabat Legislatif dan Eksekutif di Kuansing Terlihat Liar

Selasa, 05 Juli 2022

Penulis: Ahmad Zulkani

(Wartawan Utama, Wartawan Senior Kompas 1984 - 2009) kini Pemred Harian Amanah News)

PERISTIWA apakah yang paling mengusik dan membuat masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) sekarang risih dan bahkan mungkin malu?

Jika pertanyaan itu diajukan ke masyarakat Kuansing, Provinsi Riau, baik mereka yang berada di kampung halaman maupun mereka yang di rantau yang punya akses ke media sosial (medsos) maupun media massa 'mainstream' akhir-akhir ini, mungkin jawabannya akan seragam.

Barangkali masyarakat Kuansing akan menjawab serentak: "kami risih dengan para pejabat baik anggota DPRD maupun pejabat eksekutif yang hanya sibuk mengumbar polemik di media, sementara mereka abai dengan kesulitan hidup yang kini dihadapi masyarakat".

Ya, tidak bisa dipungkiri. Keluhan masyarakat Kuansing yang risih dan malu dengan 'petelagahan' (meminjam istilah yang dilontarkan Taswin Yacub, Ketua IKKS Pekanbaru) antar sesama pejabat publik yang diumbar di media sosial akhir-akhir ini jelas membuat risih siapa pun yang membaca dan mengikuti isu yang dipolemikkan itu.

Padahal jika mereka (eksekutif dan legislatif) di Kuansing sama-sama tidak mengedepankan ego dan kepentingan pribadi dan kelompoknya, kita yakin tatanan pemerintahan dan pembangunan di Kuansing semua akan berjalan normal.

Akan tetapi kini dan itu sudah berlangsung sejak beberapa bulan belakangan, kekisruhan komunikasi antara pihak DPRD dan Pemkab Kuansing tampak terus menggelinding ke mana-mana.

Berbeda dengan masyarakat awam bagi mereka yang punya misi dan ambisi pribadi, pasti akan bersorak dan akan terus menggoreng 'pertelagahan' itu ke ranah publik. Mereka pun akan mengenyampingkan rasa malu dan abai atas kerisihan masyarakat Kuansing.

Penulis sebagai orang luar Kuansing, sebetulnya juga merasa risih karena yang 'dipertontonkan' segelintir pejabat publik di Kuansing seperti sebuah 'drama' yang endingnya tentu tergantung dengan 'Sang Sutradara' yang kini lagi duduk manis di belakang layar atau panggung.

Namun belakangan ternyata 'drama' entah beberapa babak itu, makin hari kian liar dan justru 'penonton' yang berada di depan panggung sudah bisa menebak ending yang dipertontonkan para pelakon. Akan tetapi karena dianggap kebablasan dan tidak terstruktur para penonton drama yakni masyarakat Kuansing mulai merasa risih, tidak nyaman dan malu.

"Pertama, kita sebagai orang Kuansing di rantau pasti “tidak merasa nyaman” karena kondisi di daerah asal secara langsung kita bandingkan dengan daerah dimana kita merantau. Orang sudah berbicara Progress Pembangunan, di kita masih berkutat dengan “ konflik” internal yg tdk berkesudahan. Dan mirisnya sejauh mengikuti media, termasuk medsos konflik tersebut dipicu hanya karena hal hal yg sebetulnya tdk harus berkonflik, bila komunikasi bisa berjalan dengan baik," tegas Prof Dr Ir Asdi Agustar M.Sc, akademisi yang putera asli Kuansing itu.

Mantan Wakil Rektor Universitas Andalas Padang itu menambahkan, yang kedua, pola dan model komunikasi antar eksekutif dengan legislatif terlihat liar, tidak terstruktur, tidak membangun kesefahaman untuk mengambil kebijakan publik. Campur aduk antara “ perasaan pribadi” dengan pemimpin yg berimplikasi dengan kepentingan publik.

"Sering tdk jelas mana yg harus konsumsi publik, mana yg hanya konsumsi internal lembaga. Dalam bahasa Minang mana yang harus bahasan "biliak ketek", mana pula yg dibicarakan di "biliak gadang". Peran medsos dapat memperkeruh suasana, karena semua informasi “ tersaji” dan semua orang berinterpretasi sesuai dengan kemampuan logika dan analisa nya," kata Asdi.

Ketiga, menurut Asdi adalah, masih sangat sulit sepertinya memahami alih peran dari pemimpin kelompok, ormas, partai, menjadi pemimpin daerah yang harus menghilangkan sekat sekat kecil, fokus memikirkan daerah secara keseluruhan. Kondisi yang demikian sering terlihat dari Ekspresi di media yang cendrung Baper, immature, dan sering menggunakan narasi “ Saya, Kami, bukan KITA”.

"Saran saya jangan terlalu banyak membawa persoalan internal ke ruang yang "loss control”. Seorang politisi yang baik dia harus faham yang terbaik untuk orang banyak. Bahasa Padang nya "Mangango dulu, Baru Mangecek” yakni buka mulut dulu baru bicara artinya segala sesuatu harus dipikirkan dulu baru diomongkan," tambah Asdi Agustar, Guru Besar Universitas Andalas Padang yang putera asli Kuansing itu.

Menurut Asdi, kembali memahami Tupoksi masing masing berdasarkan Peraturan Per UU yg berlaku. Kalau perlu diundang Pihak yang pemahamannya sambil “Ngopi mingguan”. Untuk semua itu, perlu sekali segera diperbaiki.

Menurut saya, tambah Asdi, pertama, robah dan atur pola serta model komunikasi. Pertemuan informal sambil ngopi diperbanyak. Peran Tenaga Ahli (TA) yang cukup banyak, bisa dioptimalkan menjadi fasilitator untuk “ngopi mingguan” sambil berbincang hal hal/ isu pembangunan daerah yg dipilih TA dg baik berdasarkan bukti empiris. (Tulisan ke-2)***