Belum Optimalnya Kegiatan Car-Free Day dalam Mengubah Perilaku Berkendara Masyarakat di Kota Pekanbaru

Rabu, 31 Agustus 2022

Oleh: Ade Wahyudi

Selama sepuluh tahun terakhir, berbagai kota-kota di negara berkembang, seperti di Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan hal ini berdampak terhadap peningkatan permasalahan transportasi dan lingkungan perkotaan (Farda & Balijepalli, 2018). Bertambahnya jumlah penduduk secara langsung akan berpengaruh terhadap jumlah pergerakan dan peningkatan permintaan akan kendaraan bermotor. Akibatnya, jika hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas transportasi umum, infrastruktur pejalan kaki, dan regulasi yang tepat, tentunya hal ini akan menimbulkan Gridlock Situation di masa mendatang (Carrier et al., 2014).

Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami permasalahan transportasi yang cukup rumit. Secara administrasi, Kota Pekanbaru merupakan ibu kota dan sekaligus pusat kegiatan wilayah utama di Provinsi Riau yang melayani berbagai kegiatan perdagangan dan jasa bagi kabupaten sekitarnya. Namun, tidak meratanya persebaran pusat-pusat pertumbuhan dan tidak terintegrasinya pusat-pusat pelayanan kegiatan dengan jalur transportasi menjadi salah satu penyebab tingginya penggunaan kendaraan bermotor di Kota Pekanbaru. Berdasarkan data statistik tahun 2021, sebesar 87, 35% atau sebesar 770.846 jumlah kendaraan yang digunakan oleh masyarakat Kota Pekanbaru per harinya (Kota Pekanbaru Dalam Angka, 2021). 

Dalam upaya mengurangi permasalahan polusi udara dari kendaraan bermotor, Pemerintah Kota Pekanbaru telah menerapkan hari bebas kendaraan bermotor (car-free day) sejak tahun 2012 pada hari Minggu Pukul 06.00 – 09.00 WIB dengan tujuan agar masyarakat mampu secara perlahan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, dan beralih ke transportasi umum, bersepeda, dan berjalan kaki (active transportation mode). 

Pada dasarnya, Car-free day merupakan sebuah skema manajemen rekayasa lalu-lintas dengan cara menutup beberapa ruas jalan selama waktu tertentu, sehingga para pengguna jalan tidak dapat melintasi jalan tersebut selama kegiatan ini berlangsung (Leo et al., 2017). Selama kegiatan ini berlangsung, interaksi dan komunikasi antar pengunjung akan terbentuk karena hanya pejalan kaki dan pesepeda yang diperbolehkan berada di kawasan car-free day. Kegiatan ini juga dapat menciptakan berbagai macam gerakan sosial, lingkungan, olahraga, seni dan ruang terbuka publik bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan (Kanaf & Razif, 2010). 

Namun, kondisi yang berbeda terjadi di Kota Pekanbaru dimana kegiatan ini justru mendorong banyak pengunjung untuk menggunakan kendaraan bermotor menuju kawasan CFD, sehingga hal ini berdampak terhadap peningkatan jumlah emisi karbon dioksida, menimbulkan banyak sampah setelah kegiatan selesai (Pukul 09.00-10.00 WIB) dan memindahkan titik kemacetan ke ruas jalan lainnya.  Di samping itu, mayoritas kegiatan yang dominan dilakukan adalah olahraga dan sebagai tempat jual-beli berbagai makanan yang menghasilkan sampah dan membuat kotor ruas Jalan Jenderal Sudirman. 

Hasil dari penelitian yang saya lakukan terbukti bahwa efektifitas kegiatan car-free day di Kota Pekanbaru masih tergolong rendah. Dilihat dari jenis transportasi yang digunakan pengunjung, sebesar 80% pengunjung menggunakan kendaraan bermotor, 9% menggunakan mobil, 2% menggunakan sepeda, 2% menggunakan TransMetro, dan 7% berjalan kaki. Kemudian, dari hasil penilaian dan efektivitasnya, sebesar 64% pengunjung mengatakan bahwa kegiatan Car-Free Day ini tidak dapat mengubah perilaku berkendara karena kegiatan ini hanya bersifat sementara dan hiburan untuk masyarakat di Kota Pekanbaru. Banyaknya kegiatan olahraga, hiburan, berjualan, promosi dan kuliner yang disajikan membuat masyarakat semakin tidak memahami makna dan tujuan dari Car-Free Day, yaitu untuk mengubah perilaku mereka untuk mau menggunakan kendaraan umum, bersepeda, atau berjalan kaki.  Dalam hal dampaknya terhadap lingkungan, sebesar 56% pengunjung memiliki persepsi negatif terkait kegiatan ini.  Tingginya persepsi negatif terhadap kegiatan CFD ini dikarenakan beberapa hal, yaitu (1) lokasi parkir yang sempit dan tidak teratur, (2) tidak adanya penataan pedagang, (3) banyaknya sampah yang beserakan dan kurangnya ketersediaan tempat pembuangan sampah, (4) polusi udara yang tidak berubah akibat penggunaan kendaraan bermotor dan (5) kemacetan lalu lintas di beberapa ruas jalan akibat dipadati oleh kendaraan bermotor. 

Maka dari itu, peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan car-free day ini belum cukup efektif dalam mengubah perilaku pengendara masyarakat. Mayoritas pengunjung percaya bahwa kegiatan ini hanya sekedar trend dan hiburan bagi warga kota tanpa memiliki manfaat dalam jangka panjang dalam mengatasi masalah kemacetan, atau hanya sekedar hari yang menyenangkan (urban new activism).

Sehingga, diperlukan adanya evaluasi program oleh Pemerintah Kota Pekanbaru selaku pembuat dan pemberi izin kegiatan untuk menciptakan strategi yang tepat agar mampu menciptakan image yang positif dari kegiatan ini, bukan hanya sekedar kegiatan hiburan semata tanpa tujuan yang jelas.

Referensi 
Carrier, M., Apparicio, P., Séguin, A. M., & Crouse, D. (2014). Ambient air pollution concentration in Montreal and environmental equity: Are children at risk at school? Case Studies on Transport Policy, 2(2), 61–69. https://doi.org/10.1016/j.cstp.2014.06.003
Farda, M., & Balijepalli, C. (2018). Exploring the effectiveness of demand management policy in reducing traffic congestion and environmental pollution: Car-free day and odd-even plate measures for Bandung city in Indonesia. Case Studies on Transport Policy, 6(4), 577–590. https://doi.org/10.1016/j.cstp.2018.07.008
Kanaf, N., & Razif, M. (2010). Efisiensi program car free day terhadap penurunan emisi karbon. Jurnal Lingkungan Hidup, 1–24.
Leo, A., Morillón, D., & Silva, R. (2017). Review and analysis of urban mobility strategies in Mexico. Case Studies on Transport Policy, 5(2), 299–305. https://doi.org/10.1016/j.cstp.2016.11.008. 

 

Ade Wahyudi, pemerhati masalah perkotaan