Oleh : Sahabat Jang Itam
"ISTILAH ambo..jikok makanan itu lomak sehat dan disukoi dek paruik, katuju dek mato sasuai pulo dek salero. Aman nyaman pulo dek angan-angan, pasti di mano sajo akan dicari-cari untuk dikunjungi urang berulang ulang" (Epi Martison - Seniman Nasional asal Kuantan Singingi).
----
SENGAJA saya kutip pendapat Bang Epi untuk menyimpulkan Zoom Meeting tadi malam yang dipandu Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Kuantan Singingi Pekanbaru, Arman Lingga Wisnu.
Saya hanya memantau zoom yang banyak membicarakan tentang kebudayaan dan pariwisata di Kuantan Singingi. Bebagai ide dan pemikiran muncul. Ada yang optimis banyak pula yang pesimis... alamak. Perbandingannya sekitar 70:30 lah. Banyak yang pesimis daripada optimis.
Ada yang bilang jarak Kuantan Singingi terlalu jauh. Adapula yang bilang sarana akomodasi masih kurang. Ekstrimnya lagi ada yang menyebut pacu jalur itu hanya menghabiskan uang belaka - apalagi sekarang ini pacu jalur dilaksanakan setiap bulan di setiap kecamatan.
Pas Agustus nanti pacu jalur di Telukkuantan sudah kehabisan energi. Itu yang saya dengar....
Semua alasan itu masuk akal. Tapi kita harus sadar membangun pariwisata itu hasilnya baru bisa dinikmati 10 sampai dengan 15 tahun ke depan. Ibarat membangun rumah kita harus disiapkan dulu pondasinya baru bangunannya. Setelah itu siap baru aksesoris dan lainnya.
Saya orang yang tak sependapat dengan pernyataan yang menyebut jarak Kuantan Singingi terlalu jauh dari ibu kota provinsi. Sekedar mengingatkan tahun 1956 anggota parlemen asal Kuantan Singingi BUYA MA'RIFAT MARDJANI dengan lantang mengatakan, Rantau Kuantan siap menjadi Ibu kota Provinsi Sumatera Tengah - sebelum Riau - Jambi dan Sumbar berpisah. Alasannya sederhana karena posisi kuantan itu strategis dan terletak di tengah - dekat dengan Jambi, Pekanbaru, dan Padang kota besar waktu itu.
Soal jarak yang jauh dengan ibukota provinsi saya teringat dengan Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur) jaraknya dengan Surabaya - ibu kota Jawa Timur sangat jauh dengan perjalanan yang menyesakkan dada. Ibarat kalau ke Padang lewat Sitinjau Lawik.
Dulu untuk pergi ke Banyuwangi orang berpikir karena daerah itu diibaratkan sebagai tempat jin buang anak. Jauh, terpencil, dan sarana - prasarana jauh dari layak.
Sekarang? Untuk pergi ke sana Banyuwangi saja harus antri menunggu penginapan kosong karena ribuan wisatawan berkunjung setiap harinya. Saya berani menyebut ini karena saya pernah di undang oleh Kadis Pariwisata Banyuwangi main-main ke Banyuwangi. Saya juga pernah menjadi narasumber tentang penyusunan road map dan perkembangan pariwisata bersama Bupati Banyuwangi Azwar Anas - kini Menteri PAN di tempat berbeda di UNDIP Semarang dan Unibraw Malang.
Kenapa Banyunwangi pariwisatanya bisa maju bahkan kini mendunia. Alasannya sederhana mereka fokus, serius dan berkelanjutan dalam membangun patiwisata di daerahnya. Dalam setahun mereka punya event pariwisata mencapai 500 kali - sebagian besar dilaksanakan mandiri.
Alasan lain mereka sudah membuat Perda pariwisata yang menetapkan mana daerah yang masuk Kawasan Stategis Pariwisata Kabupaten, Provinsi dan Nasional sehingga pembangunan pariwisatanya ditopang oleh dana APBD dan APBN.
Banyuwangi adalah salah satu Kabupaten/Kota penerima Dana Alokasi Khusus (DAK) APBN bidang pariwisata di Indonesia.
Berapa DAK Pariwisata di terima Kuantan Singingi? Mungkin Pak Kadis Pariwisata Kuantan Singingi yang tahu....
Di Kuantan Singingi apakah ada Perda tentang pariwisata? Saya dengar belum..... entahlah kini...
Saya dengar DPRD Kuantan Singingi sibuk dengan urusan politik sehingga lupa urusan yang menyangkut perkembangan daerahnya.
Alamak enak betul jadi anggota DPRD di kampung kita ini.
Dua tahun berjalan tak ada satupun Perda yang lahir, yang ada hanya Bupati mengeluarkan Perbub... Perbup....oh Perbub.
Siapa yang salah? (Jawab sendirilah - kalau nak di tulis nanti Bang Epi marah pula....hahaha)
Soal akomodasi (penginapan) yang kurang di Kuansing, saya ingin bercerita sebuah pengalaman. Wisatawan dan orang besar itu sudah bosan menginap di hotel mewah. Mereka ingin nuansa baru yang alami, sejuk, dan asri.
Ketika puluhan duta besar datang ke Penyengat mereka malahan berbaur dengan masyarakat setempat. Mereka menginap di homestay yang dikelola masyarakat tempatan, makan bersama, berbaur, dan menikmati suasana yang alami bersama masyarakat Penyengat. Malam harinya mereka ikut joged dangdut bersama masyarakat.
Padahal di Tanjungpinang dan Bintan apa kurangnya penginapan. Mulai dari harga ratusan ribu hingga ratusan juta tersedia.
Kembali ke pokok persoalan di atas dan cerita Bang Epi - kunci sukses dalam pengelolaan pariwisata itu tadi adalah kenyamanan, keamanan, dan kepastian .
Ibarat rumah makan, jika makanan sedap, akan dicari orang berkali-kali. Walaupun Bang Epi la jauh poi marantau, kalau baliak kampung ka toluak, ingek torui concang rumah makan Simpang Raya.
Kemudian mengelola pariwisata itu tidaklah stagnan. Langsung kerja dapat hasil.
Hasilnya baru bisa dilihat 5 - 10 tahun ke depan jika Kuantan Singingi diserbu wisatawan. Jika wisatawan langsung boli puluik kucuang langsung ka pangian. Jika wisatawan makan lontong toge ka Kuantan Singingi.
Kuantan Singingi itu punya sejarah masa lalu yang gemilang dan cemerlang.
Jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri sudah ada kerajaan Kandis. Jauh sebelum Ibukota Provinsi Riau Pekanbaru di tetapkan, orang hebat Riau asal Kuantan Singingi Buya Ma'rifat Mardjani sudah bersuara lantang di parlemen DPR - rantau kuantan siap jadi ibukota provinsi Sumatera Tengah.
Maaf Bang Epi....tabao rendong lo namo abang gara gara tulisan iko.
Saya sepakat dengan Bang Epi kini zaman la barubah. Meminjam istilah "Tuk Leman kawan sepermainan Tuk Obik":
"Dulu memang yang pintar mengalahkan yang bodoh. Kini, paradigmanya mulai berubah yang cepat mengalahkan yang lambat."
Inilah yang perlu dipahami. Teori itu harus didukung oleh action. Nonsen teori bagus jika action tak ada. ***