Oleh: Wiska Adelia Putri
UPAYA perwujudan ketahanan pangan nasional mempunyai efek strategis yang berkaitan dengan banyak aspek, yakni pada ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, hingga kemandirian bangsa. Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam keberlangsungan hidup manusia.
Pemenuhan kecukupan pangan merupakan salah satu bentuk investasi sumber daya manusia yang lebih baik dan prasyarat pemenuhan hak asasi dasar. Secara sosiologis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang sangat besar.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan penyedian pangan yang cukup, merata, dan dapat diakses oleh seluruh rumah tangga menjadi aspek penting yang harus diperhatikan.
Kemandirian pangan mengacu pada peningkatan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan yang beragam dan bersumber dari pendayagunaan sumber daya lokal secara optimal (Rachmat 2015). Pokok-pokok pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat secara jelas dituangkan dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2012.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai kemandirian pangan adalah pengembangan potensi pangan berbasis sumber daya lokal. Dengan didasarkan pada sumber daya dan budaya lokal maka ketahanan pangan masyarakat Indonesia akan lebih kokoh dan tidak mudah terpengaruh oleh gejolak pasokan pangan dari luar negeri.
Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman pangan yang besar dan tersebar luas di seluruh penjuru bangsa. Setiap daerah memiliki pangan khas masing-masing yang dikenal baik dalam daerah maupun mancanegara, seperti pada produk tempe dan rendang yang sudah mendunia.
Berbagai pangan lokal mempunyai prospek yang luas untuk dikembangkan. Pangan lokal tersebut dapat berbeda cara pengolahannya di setiap provinsi walaupun bahan bakunya sama. Kekayaan pengolahan ini pun menjadi kekuatan dalam pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal.
Pangan lokal sendiri didefinisikan sebagai pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal (Hardono 2014).
Penganekaragaman pangan lokal dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni pengembangan teknologi pengolahan, pemberian insentif pada pengusaha lokal, pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan perikanan, penguatan usaha menengah lokal di bidang pangan, dan pada aspek yang lebih besar dapat dilakukan pengembangan pangan lokal berbasis industri agar penyebarannya lebih cepat dan merata.
Dengan didasarkan kepada sumber daya dan budaya lokal maka ketahanan pangan masyarakat akan kokoh dan tidak mudah terpengaruh oleh masalah pangan dunia.
Atas dasar pemikiran tersebut, saya sebagai calon ahli pangan berkomitmen dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan akan berperan dalam pengembangan pangan lokal dalam upaya diversifikasi pangan dan kemandirian pangan itu sendiri.
Pangan lokal yang ingin saya kembangkan adalah pangan khas dari provinsi saya yakni Provinsi Kepulauan Riau. Kepulauan Riau terkenal dengan panganan lokal berbasis olahan laut, diantaranya adalah gulai ikan patin, laksa kuah, luti gendang, gulai cipuik, rendang ikan bilis, dan mie tarempa.
Dominasi olahan laut disebabkan karena Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah kepulauan dengan luas mencapai 8.201,72 kilometer persegi. Sehingga aneka panganan laut dapat dengan mudah didapatkan.
Budidaya ikan di Kepulauan Riau pun sudah berkembang dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari budidaya dan hasil produksinya yang mampu mengekspor ikan hingga keluar negeri, diantaranya yaitu Singapura, Malaysia, dan Hongkong (Nofasari et al. 2019).
Hasil produksi yang diekspor diantaranya komoditi air laut dan air tawar. Namun hasil budidaya ikan ini lebih sering dijual dalam bentuk ikan segar. Tidak banyak produsen yang melakukan diversifikasi dan pengolahan lanjutan. Hal ini sangat disayangkan mengingat proses pengolahan pangan dapat memberikan nilai tambah dalam produk pangan.
Contohnya pada produk ikan bilis yang merupakan komoditas khas Kepulauan Riau, ketika dijual mentah harganya berkisar Rp.5.000 – Rp.10.000 per kilogram, harga tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan harga ikan bilis asin yaitu sebesar Rp.75.000 – Rp.100.000 per kilogram (Niken et al. 2021).
Pangan-pangan lokal khas Kepulauan Riau belum banyak dijumpai di daerah lain dan hanya menjadi panganan lokal yang langsung dikonsumsi di wilayahnya provinsi ini saja. Tidak banyak diversifikasi dan pengembangan yang dilakukan dalam rangka mencapai pasar nasional yang lebih luas. Padahal olahan pangan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan karena rasanya yang digemari, baik oleh masyarakat lokal maupun luar kota.
Produk olahan khas daerah ini, kebanyakan hanya ditujukan untuk konsumsi langsung sehingga tidak memperhatikan aspek pengawetan pangan dan umur simpannya terbilang cukup singkat.
Pengolahan yang dapat memperpanjang umur simpan salah satunya adalah dengan sterilisasi. Sterilisasi komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 100 C, umumnya sekitar 121,1 C menggunakan uap air selama waktu tertentu dengan tujuan untuk memusnahkan spora bakteri patogen termasuk spora bakteri Clostridium botulinum (Annisa 2018).
Penerapan sterilisasi pada produk pangan khas Kepulauan Riau dapat diterapkan untuk memperpanjang umur simpannya. Salah satu olahan pangan yang berpotensi adalah asam pedas ikan patin dan ikan sembilang. Ikan sembilang merupakan salah satu sumberdaya perikanan ekonomis penting namun pemanfaatannya masih sangat terbatas (Yulianto et al. 2018).
Pada penelitian Mutma'innah et al. (2020) sterilisasi asam pedas ikan patin telah diuji yang menunjukkan bahwa proses sterilisasi yang dilakukan dalam waktu 25 menit tidak mengubah karakteristik fisikokimia dan mikrobiologi produk asam pedas ikan patin dan meningkatkan umur simpannya.
Proses penerapan sterilisasi ikan patin dapat diterapkan juga pada ikan sembilang dengan tetap menguji efektivitasnya terhadap karakteristik fisikokimia dan mikrobiologis. Proses sterilisasi dilakukan dengan mempertimbangkan mutu produk akhir dengan cara meminimalkan kerusakan mutu.
Karakteristik produk pangan yang disterilisasi dan jenis kemasan yang digunakan juga menentukan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan (Yuswita 2014). Ikan sembilang dipilih menjadi komoditas utama karena ketersediaannya banyak dan kandungan proteinnya yang tinggi.
Daging segar ikan sembilang mengandung protein sebesar 28,39% (Rokayah et al. 2018). Selain itu ikan sembilang diketahui memiliki banyak kandungan asam amino. Asam amino esensial pada daging ikan sembilang sebesar 84222,14 mg/kg. Jenis-jenis asam amino esensial yang tertinggi pada adalah leusin sebesar 15064,09 mg/kg, dan lisin sebesar 13834,60 mg/kg (Iswandi et al. 2021).
Olahan ikan sembilang dan patin menjadi asam pedas dipilih karena memberikan cita rasa khas yaitu asam, pedas, aromatik dan umami yang banyak disukai.
Olahan produk lainnya yang dapat dikembangkan adalah rendang ikan bilis sterilisasi. Ikan bilis merupakan jenis ikan kecil yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat Kepulauan Riau. Ikan bilis sebagai bahan pangan mempunyai nilai gizi yang tinggi dengan kandungan mineral, vitamin, lemak tak jenuh dan protein yang tersusun dalam asam-asam amino esensial yang dibutuhkan untuk pemenuhan gizi manusia.
Produksi olahan rendang bilis ini sedang banyak diminati, tetapi hanya diperuntukkan untuk pelengkap hidangan harian semata. Belum menargetkan pangsa pasar yang lebih luas, karena umur simpannya yang cukup singkat. Dalam prosesnya, dibutuhkan teknologi pengolahan dan pengawetan untuk menghasilkan produk pangan yang mempunyai umur simpan lebih panjang dan tetap aman dikonsumsi.
Rendang bilis ready to eat (RTE) dapat diproses dengan sterilisasi untuk membunuh mikroba pembusuk dan patogen serta dapat membuat produk menjadi matang dengan tekstur dan citarasa sesuai dengan yang diinginkan (Pachira et al. 2021). Olahan rendang bilis RTE ini diharapkan dapat meningkatkan nilai jual produk, meningkatkan produktivitas bahan lokal, dan memenuhi kebutuhan pangan pada tingkat yang lebih luas.
Selain potensinya pada olahan pangan berbasis kelautan, pengembangan pangan dari tanaman perkebunan yakni sagu juga menjadi perhatian. Dewasa ini ketergantungan pada beras dan tepung gandum semakin tinggi. Pengembangan komoditas pangan lokal perlu untuk dilakukan guna mencukupi permintaan terhadap komoditas pangan, diantaranya pengembangan olahan sagu.
Kabupaten Lingga memiliki luas lahan perkebunan sagu mencapai 3.276 ha dengan produksi mencapai 3.258 ton pertahun. Hal tersebut menjadikan sagu sangat prospektif jika dikembangkan sebagai food estate di Kepulauan Riau. Sagu memiliki potensi pasokan pati yang besar dan murah. Produktivitas pati sagu jauh lebih tinggi dibandingkan tanaman utama lainnya seperti jagung, padi dan ubi kayu.
Pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk keperluan industri (Mandei 2016). Selain itu pati dapat diolah menjadi laksa, mie sagu, kerupuk, sagu lemak, sagu lenggang, dan produk olahan lainnya. ***
Wiska Adelia Putri, penulis merupakan Mahasiswa IPB University.