Penyebab Utama Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kuansing (Bagian Terakhir)
Oleh : Dr. Apriyan D. Rakhmat, M.Env
PADA bagian pertama, kedua dan ketiga telah diuraikan penyebab utama PETI di Kuansing (Amanah News, 07, 14 dan 28 Desember 2020), yaitu; faktor hilangnya mata pencaharian utama masyarakat, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat.
Pad bagian terakhir dan penutup, akan diuraikan penyebab utama oleh faktor ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah (mulai dari pusat, daerah hingga kecamatan dan desa) di dalam penanganan masalah PETI di Kuansing. Pemerintah Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing) dan jajaran terkait tentu yang paling bertanggunjwab dalam hal ini. Dan jika kasusnya di wilayah pedesaan seperti kasus PETI yang marak belakangan ini, tentu melingkupi pemerintah kecamatan dan desa/kelurahan.
Bagian terakhir ini memang terlambat tayang, karena tiga tulisan sebelumnya sudah diterbitkan pada Desember 2020. Penulis bermimpi, tidak perlu tayang lagi, karena pada bagian sebelumnya sudah begitu banyak berharap bahwa penutup tahun 2020, masalah PETI sudah bisa dituntaskan dan diselesaikan secara riil di lapangan.
Namun kejadian yang cukup menggemparkan dengan wafatnya seorang pelaku aktivitas PETI ketika sedang bekerja, berinisial SA (34 tahun) di Desa Pulau Komang, Sentajo, Kuansing, pada Ahad /24 Januari, sebagaimana banyak diberitakan oleh media sosial, media online dan media massa lainnya, kembali menyentak nurani penulis untuk mengkhatamkan seri tulisan ini. Dengan harapan, semakin memperjelas duduk persoalan PETI di Kuansing, khususnya dari aspek penyeban utama aktivitas PETI. Sehingga jika sudah didiagnosis penyebab utamanya, akan dapat dicarikan resep dan solusi yang tepat dan efisien. Solusi yang tepat sasaran dan berhasil guna.
Kejadian terakhir ini (meninggalnya pelaku PETI), juga memperkuat argumen bahwa pemerintah sebagai penguasa tunggal di daerah tidak mampu dan berdaya di dalam mengurus dan menyelesaikan maslaah PETI di Kuansing. Padahal lokasi kejadian, hanya beberapa kilometer saja dari pusat ibukota Kuantan Singingi. Bahkan berdekatan pula lokasinya dengan kantor Polsek dan Polres Kuantan Singingi.
Ketidakmampun pemerintah (mulai dari pemkab, kecamatan hingga desa/kelurahan) dapat ditinjau dati empat apek utama. Pertama, dari jumlah personal pegawai yang bertanggungjawab di dalam pemantauan dan pengawasan terhadap lingkungan hidup, khususnya dari Dinas Lingkungan Hidup atau nama lainnya satuan kerja yang membidangi masalaah lingkungan hidup. Kedua, dari keahlian dan profesional staff yang mengurus masalah lingkungan hidup. Ketiga, dari komitmen, keseriusan dan keikhlasan para petugas yang telah diberikan mandat dan wewenang dari negara. Keempat, dari aspek anggaran yang tersedia untuk melakukan tindakan pemantauan, pengawasan, pembinaan, pelatihan para pegawai dan tenaga pendukung serta pmbelian alat dan peralatan yang diperlukan.
Jadi, sebenarnya masalah ketidakmapunan dan ketidakberdayaan pemerintah juga sangat kompleks dan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dimana, keempat aspek yang disampaikan di atas saling berkelindan satu sama lain di dalam usaha untuk menangani masalah PETI. Jika salah satu aspek saja terabaikan, atau dianaktirikan, maka akan secara langsung ataupaun tidak langsung mempengaruhi kinerja pemerintah didalam pengelolaan masalah lingkungan hidup.
Di satu sisi, juga perlu difahami bahwa masalah lingkungan hidup di era globalisasi dan climate change yang terjadai secara merata di seluruh dunia, juga semakin kompleks dan multidimensional. Termasuk di dalam kasus PETI Kuansing. Penyebanya begitu kompleks, termasuk juga para pelakunya di lapangan yang sudah teroganisir secara rapi. Termasuk juga aliran dana dari usaha PETI yang juga sudah mengalir kemana-mana. Yang secara detail telah diuraikan di dalam bagian pertama hingga ketiga dalam siri tulisan ini.
Ditinjau dari aspek jumlah personal tenaga dan staff yang bertanggungjawab di dalam pemantauan dan pengawasan lingkungan hidup, termasuk di dalam kasus PETI terasa masih kurang. Sementara di sisi lainnya aktivitas pengrusakan terhadap lingkungan terus meningkat jumlah dan kualitasnya. Seperti dalam kasus PETI, berapa ratus jumlah usaha PETI yang ada di Kuansing? Secara sederhana saja, setiap kecamatan berapa banyak usaha PETI yang sudah diketahui secara gamblang oleh masyarakat awam? Kemudian berapa banyak lagi yang usahanya diketahui segelintir orang, dan usaha PETI yang diketahui beberapa oknum saja. Kemudian jika dijumlahkan semua usaha PETI tadi dan dikalikan jumlah kecamatan di Kuansing, maka angka yang muncul bisa mencapai ratusan usaha PETI. Cuma, jika dipilah lagi, ada yang skala besar dengan modal besar, skala menengah, dan skala kecil, dengan hanya satu hingga tiga dompeng. Sehingga dengan jumlah personal yang ada, jelas tidak akan mampu dan bisa dipantau oleh tenaga/staff yang ada di pemerintah. Ini juga sering dijadikan alasan klasik dari pihak pemerintah. Tenaga dan staff kami tidak mencukupi dan memadai begitu dalilnya.
Dari apsek keahlian dan profesonal dari personal pegawai/staff juga kerap menjadi faktor tersendiri. Karena sistem rekruitmen pegawai dan penempatan para pegawai yang kadang-kadang di era reformasi ini tidak mengikuti latar belakang keahliannya. Sehingga tak jarang ditemui, para pegawai yang tidak linear pendidikan dan keahliannya dengan bidang lingkungan hidup, tetapi ditempatkan disana, biasanya juga berkaitan dengan korupsi, koneksi dan nepotisme (KKN) dan istilah jabatan basah dan kering. Selain salah penempatan keahlian tenaga, juga tak jarang yang sudah linear bidang dan kelulusananya, cuma kualitas SDM lulusan yang terlalu pas-pasan, bahkan di bawah kemampuan dasar, sehingga dalam bekerja tidak efektif dan efisien. Kenapa bisa begitu? karena sistem rekruitmen pegawai di negara kita yang masih belum 100 persen murni berdasarkan kapabilitas dan kompetensi. Aroma dan bau KKN ketika era Orde Baru masih belum lagi tuntas. Aroma KKN masih menggurita dan beranak pinak di lingkungan pemerintahan dewasa ini.
Seterusnya, dari aspek integritas dari pegawai/staf yang diamanahkan juga terkadang menjadi faktor lain di dalam pemberantasan masalah lingkungan hdup. Dimana masih ditemukannya pegawasi/staff yang miskin integritas. Miskin pengabdian dan keikhlasan di dalam pengabdian kepada negara dan melayani masyarakat. Bahkan tak jarang juga, mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara dan masyarakat. Suatau tindakan yang sangat tercela dan dibenci agama manapun. Pegawa/staf yang tidak melayani dan bekerja dengan pamrih, walaupun sudah digaji oleh negara. Pegawai dan staff yang hanya mengejar dan menanti tanggal baru, dan sisp-siap mencari peluang uang tambahan dari pekerjaan kantor. Atau dengan kata lain, memanfaatkan fasilitas atau jabatan kantor untuk menambahah kekayaan pribadi dan kelompok. Pegawi/staf dengan mental penjajah. Jauh dari sikap patriotik untuk membela negara dan memakmurkan masyarakat. Mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok. Dalam kasus ini, bisa dihitung juga berapa banyak para pejabat dan pegawai yang sudah dihukum dan bahkan ada yang sudah divonis penjara karena melakukan malpraktek dan merugikan negara.
Aspek terakhir adalah sisi anggaran pendanaan untuk kegiatan pemantauan dan pengawasan lingkungan hidup, yang mana juga sering menjadi alasan klasik. Walaupun ini juga ada benarnya. Karena kegiatan pemantauan dan pengawasan lingkungan hdiup, dengan semakin banyak jenis dan macam kasus kejahatan lingkungan dan pengrusakan lingkugan, tentu juga memerlukan dukungan anggaran dana yang setimpal. Badan anggaran, harus dapat dan mampu untuk menyususn anggaran yang sesuai dan mencukupi di dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kerena, pada dasarnya jika lingkungan hdiup rusak dan tercemar, maka secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kegiatan spsoal-ekonomi secara ekstensif, baik jangka pendek apalagi jangka panjang. Aktivitas sosial-ekonomi akan terganggu serta merta jika sumberdaya alam dan lingkugan semakin rusak dan tercemar. Dan sebaliknya kegiatan ekonomi akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, jika kualitas sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup semakin meningkat. Ini yang disebut para ahli dengan istilah green economy, dimana ekonomi tumbuh dan berkembang, dan dalam masa yang sama kerukunan sosial makin erat dan lingkungan hidup dapat dilestarikan. Dalam konteks penambangan emas di Kuansing, bagaimana bisa menghadirkan konsep green economy di dalam pengelolaan emas, dimana emas bisa didapatkan, lapangan pekerjaan tumbuh namun kelestarian lingkungan tetap terjaga. Kapan bisa untuk mewujudkan zero-dompeng di Kuansing, dan beralih menjadi green gold development, atau mungkin juga green dompeng. Semoga. Allahu a’lam.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Pengurus Bidang Sosial dan Agama IKKS Pekanbaru
Tulis Komentar