Opini

Membingkai Penataan Ruang  Kota dalam Arus Globalisasi

Penulis, Apriyan D Rakhmat.(foto.ist/ANEWS)

 

Oleh: Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env

DALAM derap dan irama kemajuan zaman serta arus globalisasi yang melanda dunia, penataan ruang kota menjadi suatu tantangan tersindiri bagi segenap stakeholder pembangunan kota, terutama walikota/bupati dan jajarannya. Selain pengaruh globalisasi, pemerintah kota juga harus dapat mempertahankan jati diri sebuah kota, supaya tidak tercampak dari akar budaya lokal dan tradisi yang sudah melekat sejak berzaman, yang telah diperakui keelokannya. Poin yang terakhir ini lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal (local wisdom) yang telah banyak diperbincangkan oleh para  ahli akademik.

Pemerintah kota dibawah nakhoda walikota dituntut kecerdasannya untuk dapat meramu dan mengemas kedua arus utama tersebut sehingga dapat menghasilkan resep untuk kemudian disajikan dalam suatu  hidangan berkualitas kepada warga kota, khususnya di dalam membingkai penataan ruang kota bagi kehidupan bersama (multikultur)  yang dapat untuk memberikan ruang  hidup dan menghidupkan, yang kini terus digerus,  dililit dan ditekan dengan berbagai permasalahan ekonomi, sosial, politik dan lingkungan yang tidak berkesudahan. 

Bagaimanapun, idealnya kapasitas kearifan lokal mampu menjadi semacam ‘society mainstream’ yang dapat untuk merajut semua nilai-nilai multikultur, multi etnik dan pengaruh globalisasi. Dengan kata lain, dalam kehidupan di Kota Pekanbaru, misalny, maka ‘society mainstreamnya’ adalah budaya Melayu, yang dapat merajut keberagaman (multi kultur dan multi etnik) yang ada di Pekanbaru. Dalam konteks Kota Jakarta, ‘society mainstreamnya’ adalah budaya Betawi. Bagi Kota Bandung, “society mainstreamnya” adalah budaya Sunda. Bagi Kota Surabaya, ‘society mainstreamnya’ adalah budaya Jawa. Bagi kota Padang, ‘society mainstreamnya’ adalah budaya Minang Kabau. Demikian seterusnya untuk kota yang lainnya di Tanah Air. 

Kota Multikultur
Perlu diingatkan lagi bahwa kota pada asalnya adalah ruang perjumpaaan individu dari berbagai latar belakang sosial-budaya, ekonomi dan politik. Semakin berkembang jaman dan peradaban ruang perjumpaan itu semakin melebar dan meluas, yang kemudian mewujudkaan ruang-ruang tersendiri dalam kehidupan kota, dalam bentuk kegiatan atau perilaku berkota. Perilaku berkota seterusnya melahirkan ruang-ruang perkotaan, seperti; permukiman, perdagangan dan jasa, rekreasi, industri, dan yang lainnya. 
Kota masa kini dicirikan dengan keragaman individu yang menempatinya. Kota masa kini ibarat sebuah hidangan yang diramu dari berbagai macam bumbu yang kemudian menghadirkan sebuah menu makanan yang beraneka ragam. Nyaris, tidak ada sebuah kota  yang hanya dihuni dan ditempati oleh satu, dua atau tiga  etnik dan  kultur  masyarakat. Dalan kenyataannya kota disesaki dan dihuni oleh berbagai macam-ragam kultur dan etnik, yang dikenal dengan kota multikultur atau kota plural. Semakin maju dan besar sebuah kota, biasanya juga dircirikan dengan meningkatnya jumlah kultur dan keberagamannnya. Sebagai contoh, London  (Inggris) adalah kota yang paling multikultur di dunia. Jakarta adalah kota paling multikultur di Indonesia. 

Tradisi Lokal dan Tantangan Global
Seperti telah disinggung di atas, bahwa penataan kota masa kini tidak bisa terlepas dari dua arus utama (lokal dan global), jika sebuah kota ingin tetap survive dalam pentas kehidupan masa kini. Jika tidak dapat meniti dan mengharunginya dengan cerdas maka ibarat kapal di lautan akan terombang-ambing tanpa arah dan tujuan yang jelas, bahkan dapat pula bernasib yang lebih buruk kapal tenggelam di lautan. Sebaliknya, jika nakhoda  dapat mengendalikan kapal dengan piawai maka kapal akan sampai ke pulau harapan yang dituju. 

Sebagai contoh, di dalam penataan ruang perdagangan dan jasa perkotaan. Pemerintah kota harus dan wajib menyediakan ruang yang refresentatif untuk kalangan ekonomi menengah bawah, seperti kios-kios, kedai-kedai harian, kelontong, pasar tradisional dan yang sejenisnya. Sementara itu, kita juga tidak bisa menolak kehadiran mini market, supermarket, mal, plaza dan yang sejenismnya, sebagai bagian dari dinamika kemajuan jaman dan perkembangan teknologi serta peradaban.
Contoh lainnya, adalah penataan jalan raya yang memberikan ruang kepada seluruh lapisan masyarakat; masyarakat biasa dan disabilitas. Jalan raya ditata untuk dapat mengakomodir seluruh warga kota; jalur pejalan kaki (pedestrian), jalur sepeda dan kenderaan bermotor. Termasuk juga memberikan prioritas kepada warga disabilitas.
Pemerintah juga harus cerdas untuk memberikan ruang ekspresi kepada para remaja, anak-anak muda untuk menyalurkan hobi, bakat dan ekspresi generasi muda zaman sekarang. Mungkin bisa dalam bentuk menyediakan ruang terbuka hijau yang dilengkapi dengan akses internet gratis, wifi, tempat selfie, kuliner anak gaul dan yang sejenisnya. Di samping itu, jangan lupa untuk melestarikan kesenian dan budaya lokal, seumpama desa adat, ruang atau taman tradisi, yang kesemuanya untuk memperkokoh jatidiri dan asal-asul sejarah kota.

Di tengah isu radikalisme, terorisme, geng motor, begal  dan juga isu-isu rasis lainnya seumpama anti pancasila, anti NKRI dan yang sejenisnya, pemerintah kota harus tanggap dan cerdas untuk mengantisipasinya. Karena di antara penyebab utama timbulnya isme-isme dan faham-faham sesat tersebut adalah karena adanya ketimpangan di dalam tatanan kehidupan, dan wujudnya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dalam arti luas. Ada sebagian kelompok atau etnis yang terkucilkan atau dianaktirikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Atau mungkin juga diabaikan, atau disepelekan, atau tidak diberikan ruang ekspresi yang memadai untuk menyalurkan bakat dan hobi, sehingga kemudian mereka berjumpa dengan faham-faham dan isme-isme yagn bisa menyalurkan ketidakadilan dan ketimpangan tersebut.

Pengalaman Bali

Bali mungkin dapat dijadikan satu contoh menarik di dalam membingkai penataan ruang kota. Bali yang lebih dikenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia, dapat dengan cerdas membingkai penataan ruang kota. Keberagaman kultur warga tidak menghalanginya untuk menjadi kota yang maju, menarik dan berdaya saing.
Kota Denpasar dihuni oleh sekitar 428.678 jiwa beragama Hindu, 143.399 jiwa beragama Islam, 14.000 jiwa Katolik, 30.017 jiwa Protestan, dan 12.649 jiwa beragama Budha, yang didukung oleh tempat ibadah berupa 105 pura (besar), 3 pura Sad Kahyangan/Dang Kahyangan, 39 masjid dan langgar, 4 gereja Katolik, 59 gereja Protestan dan 6 wihara (Bappeda Kota Denpasar, 2014).  Keseluruh pemeluk agama dengan latar etnik yang beragam tersebut dapat hidup dengan rukun dan damai.
Kata kuncinya disini adalah kekuatan  pijakannya ke akar budaya lokal dan keterbukaannya, yang diistilahkan oleh Hana (1990)  sebagai self-contained dan self-renewing. Kekuatan pertama, dapat dilihat dari kesungguhan masyarakat Bali berpegang teguh dengan adat-istiadat dan budaya lokalnya, seperti; agama, pakaian, bentuk arsitektur rumah dan bangunan, kuliner dan yang sejenisnya. Desa adat dilestarikan. Kekuatan kedua dapat dilihat dari keterbukaan masyarakat Bali dalam menerima pengaruh dan perubahan dari luar, bahkan mereka bisa  ‘membumikan’ pengaruh dan budaya dari luar secara elegan. 

Menariknya, hasil riset dari Boehmer dan Wickham (1995) dalam menghadapi perubahan-perubahan budaya dan nilai-nilai yang datang dari luar hanya terjadi pada tataran dunia materi saja (the material world) dan tidak terjadi pada tataran non-materi (the non-material world). Hal ini semakin saya yakini, ketika saya berkunjung beberapa kali ke Bali sebelum Pandemi Covid-19, ketika teman orang Bali  mengajak keliling Kota Denpasar mengatakan bahwa tidak ada perempuan Bali yang memakai bikini seperti jamaknya turis dari Australia dan Eropah katanya. Kemudian dia melanjutkan lagi, ciri-ciri lelaki Bali lainnya  lihat ditangannya biasanya ada gelang tali.

Sampai sejauh ini, kedua kekuatan ini dapat diramu dan dikemas Bali dengan apik dan harmonis. Walaupun di dalam kenyataannya, juga tidak semulus yang diharapkan, banyak onak dan duri yang menyertai perjalanan menuju ke arah tersebut. Sebagai contoh yang menggemparkan dunia adalah peristiwa Bom Bali 2002, yang menewaskan ratusan jiwa manusia (lokal dan mancanegara). Tetapi peristiwa tersebut tidak meruntuhkan dan mematikan kehidupan pariwisata Bali dan tatanan kehidupan masyarakat Bali dalam arti luas, bahkan mereka bisa  bangkit dan saling menguatkan. 
Persitiwa bom tersebut, dapat diibaratkan riak kecil di dalam menuju bingkai penataan ruang yang lebih baik di masa depan. Bahkan beberapa tahun yang lalu, kita dikejutkan dengan kunjungan Raja Salman dan rombongannya untuk berlibur di Bali, yang semakin menambah pamor pariwisata Bali di tingkat dunia. Setelah itu, diikuti lagi dengan kunjungan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan keluarganya. Kunjungan-kunjungan orang-orang ternama dan selebritis sudah tidak terhitung jumlahnya setelah kejadian Bom Bali.

Begitu juga halnya dengan ekspos dan cerita tentang pantai Kuta, Sanur atau Ubud yang begitu hebat di media massa dan media sosial. Namun jika kita tanyakan kepada orang Bali, ceritanya menjadi biasa saja dan seolah tidak ada apa-apanya. Tahun 2010 ketika saya diajak teman saya orang Bali berkunjung ke Pantai Kuta, Legian dan juga melihat Tugu Memorium “Amrozi” Bom Bali, sambil berseloroh ketika menginjakkan kaki di pantai Kuta dia mengatakan bahwa sudah belasan tahun dia tidak menginjakkan kakinya di pantai Kuta. Padahal dia adalah  orang Bali asli dan pegawai negeri sipil di Bappeda Propinsi Bali. Kemudian dia menunjukkan kepada saya, lihat tuh banyak sumur. Istilah sumur seperti menjadi istilah umum di Bali dan dikaitkan dengan fenomena wisata Pantai Kuta dan Sanur yang disesaki oleh turis mancanegara, khususnya Australia. 
Jika tidak tahu istilah sumur berarti belum pernah ke Kuta atau Sanur. Memang jika cerita tentang Bali tidak ada habisnya dan senantiasa menarik untuk dibicarakan, dari budaya, orangnya, kuliner, buah-buahan, pakaian dan tentunya panorama wisatanya. Biasanya, jika acara-acara seminar, konferensi, pertemuan, pagelaran seni dan budaya, event olahraga diadakan di Bali maka antusias peserta selalu tinggi. Ada magnetnya. Wallahu a’lam.

Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota 
Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Email: [email protected]  dan [email protected]
Hp/WA 081371603890

 



Tulis Komentar