Opini

"Menakar Peluang Bebas Mursini Dalam Upaya Praperadilan"


Oleh: Rizki Poliang, SH.,MH.
 
 PRAPID bukan merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap proses penegakan hukum, justru prapid merupakan instrumen hukum yang sengaja dibuat sebagai penyeimbang (check and balances) dalam penegakan hukum itu sendiri. Sering saya sampaikan, bahwa hukum adalah prosedur, prosedur adalah hukum, maka hukum tanpa prosedur hanya kesewenang-wenangan. 
 
Terkait persoalan yang sedang dihadapi oleh mantan bupati kuansing mursini, saya berpandangan bahwa mursini berpeluang bebas dalam upaya praperadilan. Dalam hal ini yaitu menyangkut pengujian sah atau tidaknya penetapan tersangka. 
 
Analisis ini didasarkan pada telaah yuridis terhadap tiga putusan pengadilan tipikor pekanbaru Nomor 32/Pid.Sus-TPK/2020/PN Pbr (Muharlius), Nomor 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN Pbr (M. Saleh), Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN Pbr (Verdy Ananta), serta perkembangan pemberitaan di berbagai media cetak maupun elektronik. 
 
Dalam hal ini, sesuai dengan kuhap dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21 Tahun 2014 yang pada pokoknya menyebut penetapan tersangka harus cukup alat bukti yaitu minimal dua. 
 
Disamping itu, selain harus menggunakan minimal dua alat bukti yg cukup, penetapan tersangka juga harus didasarkan pada alat bukti yg sah, sebagaimana yg termaktub pada pasal 184 kuhap, yaitu saksi, ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. 
 
Jika melihat perkembangan pemberitaan selama ini, bahwa salah satu alat bukti yang diduga digunakan penyidik untuk menetapkan mursini sebagai tersangka merupakan  keterangan terdakwa. Padahal, jika kita mengacu pada pasal 189 ayat (3) KUHAP tegas dinyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 
 
Menurut ketentuam tersebut, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya. 
 
Dalam perkara tindak pidana korupsi kekuatan alat bukti merupakan faktor penentu untuk dapat menyatakan seseorang bersalah secara hukum. Sehingga, hal tersebut terlebih dahulu perlu di uji dalam upaya praperadilan. Hal ini penting, demi menjaga supremasi hukum, agar jangan sampai seseorang dipersalahkan dengan menggunakan alat bukti yang di duga "subjektif". 
 
Saya mencatat, setidaknya terdapat 3 hal mendasar yang dapat memberikan mursini peluang bebas dari jeratan hukum melalui upaya praperadilan. Namun, secara spesifik saya tidak bisa jelaskan disini karena sudah masuk pada substansi dan teknis acara di persidangan. 
 
Pada pokoknya pengajuan praperadilan itu penting dilakukan, agar apa yang menjadi pedoman nantinya dalam persidangan pokok perkara telah diuji melalui mekanisme prapid, sehingga penegakan hukum itu dapat berjalan dengan fair. *
 
7 Agustus 2021

* Penulis adalah Praktisi Hukum yang bermastautin di Teluk Kuantan - Kuansing

 



Tulis Komentar