Kudeta Militer Terjadi di Myanmar, Pemimpin Sipil Ditangkapi
NAYPYIDAW (ANEWS) - Babak baru krisis politik di Myanmar terjadi dengan militer melakukan kudeta dan menangkapi para pemimpin sipil.
Para pemimpin sipil seperti Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint ditangkap dalam penyerbuan yang berlangsung di pagi buta. Penangkapan mereka terjadi sebelum parlemen menggelar pertemuan perdana, pasca-pemilihan umum pada November 2020.
Dilansir AFP Senin (1/2/2021) seperti dikutip dari Kompas.com, berikut sejumlah fakta yang berhasil terhimpun dalam kudeta militer Myanmar. Bagaimana krisis ini bermula?
Meski di dunia dia dihujat karena penindakan atas etnis Rohingya, Aung San Suu Kyi tetaplah figur populer di negaranya. Karena itu partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengamankan kemenangan besar dalam pemilu November 2020. Total, dia mendapatkan 258 House of Representatives (majelis rendah), dan 138 House of Nationalities (majelis tinggi).
Namun militer, yang sudah menguasai negara di Asia Tenggara itu dalam 60 tahun terakhir, menyebut pemilu November 2020 penuh kecurangan.
Mereka mengklaim menemukan lebih dari 10 juta pelanggaran suara, dan meminta komisi pemilu untuk melakukan pencocokan dengan temuan tersebut. Tensi mulai meningkat setelah Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar memberikan ancaman kudeta.
Dalam pernyataannya pekan lalu, Jenderal Min menuturkan dia tak segan mencabut konsitusi jika dia menganggap tidak dihormati. Pekan lalu, tank mulai dipasang berjejer di kota utama seperti Naypydaw dan Yangon, dengan kelompok pro-militer berunjuk rasa. Apa yang bakal terjadi Setelah menangkap sejumlah pemimpin sipil, militer mengumumkan keadaan darurat dan bakal berkuasa selama satu tahun.
Myint Swe, mantan jenderal yang saat ini berstatus wakil presiden, bakal menjadi penjabat presiden hingga tahun depan.
Dalam pernyataan yang dirilis Mywaddy TV, kendali pemerintahan, legislasi, dan hukum akan diserahkan ke Min Aung Hlaing.
Sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948, Myanmar yang dulunya bernama Burma sebagian besar sejarahnya dikuasai militer.
Pada 1962, Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan mengenyahkan pemerintahan sipil setelah dia menganggapnya tak cukup terampil memimpin negara. Dia berkuasa selama 26 tahun dan mundur pada 1988, setelah aksi protes muncul buntut stagnasi ekonomi dan pemerintahan yang otoriter.
Generasi baru junta militer menggantikan Ne, di mana mereka berkilah perlunya memulihkan ketertiban dan keamanan negara. Pada 2011, Jenderal Than Shwe mengundurkan diri dan menyerahkan pemerintahan ke para pensiunan perwira tinggi.
Apakah konstitusi bakal dipertahankan?
Dalam konstitusi 2008, dijelaskan bahwa militer memegang kekuasaan besar melalui kementerian pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri. Segala perubahan dalam kebijakan membutuhkan persetujuan militer, yang menguasai seperempat kursi parlemen.
Analis politik Khin Zaw Win berujar, besarnya kekuasaan angkatan bersenjata membuat konstitusi itu sangat tidak populer. Sejak memenangkan pemilu 2015, pemerintahan Aung San Suu Kyi mengupayakan amendemen, namun menelan pil pahit.
Selama masa jabatan terakhir, dia menghindari mendapat jabatan presiden sehingga dia secara de facto adalah "kanselir negara". Menurut analis politik Soe Myint Aung, celah yang dibuat oleh Suu Kyi ini tidak bisa diperkirakan oleh kalangan militer.
"Dari perspektif mereka, angkatan bersenjata jelas kehilangan besar dalam usaha mereka mengintervensi politik," jelas Soe. (*/ZET)
Tulis Komentar