Daerah

Sikapi Kasus Dugaan Pelecehan di FISIP Unri, Ninik Mamak Kuantan Singingi: 'Kami Prihatin Sebaiknya Diselesaikan Kekeluargaan'

Ninik Mamak Kuantan Singingi, DR. H.Edyanus Herman Halim SE, MS, Datuk Bisai XII, Dr. H. Taswin Yacub, Sp.S (Ketum IKKS) dan Arman Lingga Wisnu (Sekum IKKS) bersama delegasi masyarakat Kuansing lainnya di Pekanbaru.. Ft. Ist-ANews)

PEKANBARU (ANEWS) - Menyikapi kasus dugaan pelecehan yang terjadi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau (FISIP Unri), masyarakat Kuantan Singingi di Kota Pekanbaru (Riau) yang terdiri dari unsur ninik mamak, tokoh masyarakat, Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS), pemuda dan mahasiswa kini sama-sama menyatakan rasa prihatin atas kasus yang menimpa anak cucu kemenakannya itu.

"Kalau kasus dugaan pelecehan di FISIP Unri itu bisa kami sebut perseteruan, maka perseteruan ini walaupun sudah sampai kepada pihak yang berwajib sebaiknya tetap dapat diselesaikan secara kekeluargaan sebagaimana yang lazim di negeri Kuantan yang bersendikan adat yang kuat. Apalagi, penyelesaian melalui hukum adat diakui dalam praktik hukum positif di negara kita selama ini," tegas DR. H.Edyanus Herman Halim SE, MS, Datuk Bisai XII, salah seorang Ninik Mamak Kuantan Singingi (Kuansing) memaparkan pernyataan sikap tertulis dan desakan masyarakat Kuansing, ketika dihubungi Redaksi Amanah News di Pekanbaru, Senin (13/12/2021).

Menurut Datuk Bisai, selaku ninik mamak pernyataan itu sengaja ia sampaikan karena pihaknya didatangi berbagai elemen masyarakat Kuansing di kediamannya, pada Ahad petang (12/12/2021). 

Delegasi masyarakat Kuansing yang menyampaikan desakan, pernyataan sikap dan rasa prihatin secara tertulis itu, selain Datuk Bisai juga ditandatangani Joyosman Datuk Omar Dirajo (Ninik Mamak), Drs R. Bastian Roesli,  Drs. H. Eddie Yusti, MH (Tokoh Masyarakat), Drs. H. Syafri Yoes (Anggota Pembina IKKS), Dr. H. Taswin Yacub, Sp.S. (Ketum IKKS), Dr. Elfis Suanto, M.Si. (Ketum FMKT), Arman Lingga Wisnu, SE. (Sekum IKKS Pekanbaru), Suardi dan Rusdayati M.Nur (Masyarakat Kuansing), serta dari unsur pemuda/mahasiswa Kuansing Robby Priatama, Rudri Musdianto Saputra, Tio Afrianda, Ragil Eruangga dan Wahyu Adrian.

Seperti diberitakan sebelumnya, "L" seorang mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Unri mengaku jadi korban dugaan pelecehan ketika bimbingan skripsi yang diakuinya diduga dilakukan oleh "SH", Dekan FISIP Unri. Kasus dugaan pelecehan tersebut kini sudah bergulir ke ranah hukum dengan ditetapkannya "SH" sebagai tersangka. Setelah dilakukan penyidikan oleh penyidik Polda Riau, berkas kasus ini dilimpahkan ke kejaksaan. Tetapi, pekan lalu pihak Kejaksaan Tinggi Riau ternyata mengembalikan berkas itu ke Polda Riau karena dinilai tidak lengkap.

Mengutip pernyataan sikap masyarakat Kuansing tersebut lebih jauh Datuk Bisai menambahkan, dalam perspektif kerukunan "Berdunsanak Kito di Rantau Bersatu Kito di Kampuang Halaman" kalaupun ada yang tersalah maka pendekatannya adalah "Kok ado salah godang dipekociak dan kok ado salah kociak dihabisi". Artinya, dalam konteks itu maka azas kekeluargaan memang harus lebih dikedepankan.

Diakui Datuk Bisai, kedua-dua mereka yang berseteru baik "L" (mahasiswi) maupun "SH" (Dekan FISIP Unri) adalah anak kemenakan dari Kuantan Singingi. Meskipun salah satu diantaranya bukan warga asli tetapi Datuk dan orang tua mereka sudah saling 'Begito' atau 'menyapo induak'. Ini berarti mereka sudah bersaudara. 

Sehubungan dengan itu, seperti yang tertuang dalam pernyataan sikap dan desakan masyarakat Kuansing itu, kata Datuk Bisai, maka kita sangat menyayangkan kalau persaudaraan itu harus terkoyak oleh keinginan-keinginan lain yang tentunya hanya akan memperkeruh suasana. Apalagi ujungnya tidak ada yang bakal diuntungkan. Sengketa ini jika masih diperpanjang hanya akan merugikan keluarga besar Kuantan Singingi. Tidak hanya mereka yang rugi tetapi sudah memperburuk citra masyarakat Kuantan Singingi.

"Oleh karenanya kami berharap masalah ini bisa diselesaikan secara adat kekeluargaan dengan basis kekerabatan yang saling memperbaiki. Bertabayun satu sama lain dan kita buat acara adat untuk menyelesaikannya. Kurang elok kalau yang terjadi saling tuntut menuntut yang pada akhirnya (takutnya kita) dapat dimasuki dan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain diluar kepentingan mengurai kebenaran dan membangun kedamaian," ujar Datuk Bisai mengutip pernyataan sikap dan ungkapan rasa prihatin yang disampaikan secara tertulis dan ditanda tangani oleh delegasi masyarakat Kuansing tersebut.

Pidana Adat

Menilik apa yang terjadi saat ini khususnya terkait dengan personal yang tersangkut kasus dugaan pelecehan di FISIP Unri, Datuk Bisai menyatakan, dalam perspektif adat istiadat di Kuansing itu bisa masuk kategori pidana adat yang seyogianya dapat pula diselesaikan melalui musyawarah adat oleh ninik mamak.

Menurut Datuk Bisai, dalam masyarakat adat di Kuansing yang juga dianut oleh masyarakat adat di Minangkabau dikenal pula adanya undang-undang nan salapan (delapan) yakni; Tikam - Bunuh, Upas - Racun, Samun - Sakar, Siar - Bakar, Maling - Curi, Rebut - Rampas, Dago - Dagi dan Sumbang - Salah. Khusus "Sumbang" yaitu Fi’il dan kelakuan yang kedapatan dengan perempuan orang lain. Sedangkan "Salah" yaitu sampai melakukan hubungan intim dengan perempuan orang lain.

"Itulah yang disebut hukum pidana adat dalam hukum adat di Kuansing. Menariknya dalam hukum pidana adat ini adalah, bahwa pidana adat sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang nan salapan baru dipandang telah dilanggar apabila sudah ada buktinya. Penegakan hukum pidana adat ini menarik, unik dan khas. Jika tidak terbukti, maka batal-lah segala yang didakwa sehingga sitertuduh tidak dapat dihukum," tambah Datuk Bisai mengutip bentuk penyelesaian pidana adat tersebut. (ZET/HZ)



Tulis Komentar