Dokumenter Amanah News

Drs. H. Rustam S. Abrus: “Orang Kampung” Kuantan Singingi yang Jadi Wakil Gubernur Riau

Oleh: Team Sahabat Jang Itam
DULLAH hidup berpindah. Cari uang pun berpindah. Itu semua karena keadaan yang pada masa itu negeri ini masih diserang penjajah.

Berbagai macam pekerjaan Dullah coba. Mulai dari menarik bendi, penyadap karet, dan lainnya.  Alhasil semuanya belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.

Walau Dullah  hidup dalam lingkaran penderitaan, Dullah tidak pernah mau meninggalkan pendidikannya walau usianya sudah terbilang tua.

Dullah tetap melanjutkan pendidikannya. Baginya pendidikan itu penting. Selain pendidikan, Dullah pun ikut dalam gerakan gerilyawan untuk melawan penjajah.

Alhasil rumah keluarganya hancur oleh serangan penjajah  yang berhasil masuk ke kampungnya.

Air mata pun jatuh bercucuran. Akan tetapi apa yang mau ditangisi bukan hanya rumah Dullah yang hancur, rumah tetangganya pun juga hancur.

Akhir hidup yang tak usai, Dullah kembali ke pekerjaan lamanya: menarik bendi.  

Suatu malam  Dullah berkeliling dan mendapatkan penumpang yang tak lain adalah gurunya. Malu rasa hati, akhirnya Dullah tetap membawa gurunya dengan wajah ditutup agar tak kelihatan.

Sepanjang jalan Dullah teringat dengan Mina wanita yang dicintainya. Walau Dullah tak jadi bersanding dengan Mina karena harga karet turun dan Mina pun lari ke lelaki mapan. Namun Dullah tetap menjalani hidupnya.

Bendi pun berhenti, Dullah pun mendapat uang dua puluh lima.

-----------------

CERITA  itu merupakan penggalan dari  cerita pendek atau cerpen karya Drs. H. Rustam  S. Abrus yang  berjudul:  Malam Indah. Cerpen tersebut dimuat  dalam antalogi cerpen Keremunting (Gramitra, Pekanbaru, 1989).

Keremunting merupakan antalogi cerpen karya sejumlah pengarang Riau. Sebut saja: BM Syamsuddin asal Natuna, Edi Ruslan Pe Amanriza  (Bengkalis),  Rida K Liamsi (Tanjungpinang),  Sudarno Mahyuddin (Rokan  Hilir),  Syamsul Bachri Djuddin (Kuantan Singingi), dan lainnya.

RUS ABRUS  nama pena Rustam S. Abrus dalam cerpennya menggambar sosok Dullah dengan apik. Dullah pada akhirnya  menjadi barometer baru yang menggandeng masyarakat untuk melihat tiga sisi kehidupan yang berbeda: sosial, ekonomi,  dan pendidikan.

Cerpen “Malam Indah “  memberikan pengaruh kepada masyarakat yang ada di daerah Riau umumnya untuk dapat membentuk suatu sikap yang konstan di dalam menjalani kehidupan. Terutama dari segi sosial, ekonomi,  dan pendidikan.
---------------

RUSTAM S. ABRUS  pernah aktif di teater, menjadi guru dan wartawan. Tokoh yang mengaku sadar diri sebagai  Orang Kampung yang tinggal di kota ini  memilih profesi sebagai pegawai negeri.  

Bersama putra terbaik Kuantan Singingi lainnya, Ir. H. Firdau Malik,  Rustam S. Abrus pernah menduduki karier tertinggi sebagai birokrat. Keduanya pernah menduduki posisi  Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) dan Wakil Gubernur (Wagub) Riau.

Rustam S. Abrus menggantikan  Ir. H. Firdaus Malik. Ia menjabat sebagai Wagub Riau sejak 1988 bersama Drs. H. R. Rivai Rachman  pada masa Letnan Jendral (Purn) H. Soeripto  menjadi Gubernur Riau (1988-1998).  

Dengan dua Wagub tersebut, Soeripto membagi keduanya pekerjaan yang harus diselesaikan. Rivai Rachman  diberi kewenangan untuk menyiapkan bidang ekonomi seperti menyiapkan Pulau Bintan (sekarang bagian Provinsi Kepulauan Riau) sebagai tujuan wisata internasional.  Sedangkan Rustam S. Abrus mengkhususkan kepada masalah pemerintahan dan  kesejahteraan sosial.

Rustam S. Abrus digantikan Drs. H. R. Abdul  Azis  (28 Desember 1998  s.d 21 Nopember 2003) pada masa H. Saleh Djasit, S.H menjadi Gubernur Riau.     

Selepas keduanya (Firdaus Malik dan Rustam S Abrus) sampai kini tidak ada lagi birokrat asal Kuantan Singingi yang meraih jabatan strategis di Pemerintah Provinsi  Riau seperti mereka.

Paling tinggi hanya level eselon  II atau Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti: Kepala Dinas dan Kepala Badan.

Keberadaan mereka di pucuk  jabatan eksekutif melengkapi Simbol Kuantan  Singingi sebagai penghasil orang-orang pintar di Riau. Kuantan  Singingi dikenal sebagai penghasil para tenaga pendidik (guru), politisi, dan birokrat andal.  

Itu dulu. Sekarang…..?

Silahkan jawab sendiri. Jangan tanyakan kepada rumput yang bergoyang!
-----------------

RUSTAM S. ABRUS  lahir di Baserah, Kecamatan Kuantan Hilir, 19 Oktober  1937.  

Perjalanan hidup sang birokrat andal ini sangat panjang. Penuh lika liku.  Salah seorang adik kandungnya menulis: S Abrus Sebuah Telaah Sederhana yang diterbitkan: https://abrus.wordpress.com /2008/10/22/bang-soetom alias-rustam-s-abrus/.  

Kami muat utuh agar tidak salah fokus.
----------------

MEMBACA  buku Rus Abrus (kumpulan karya sastra & karya Rustam S. Abrus) tela'ah sang editor Mosthamir Thalib dkk, terbitan Yayasan Sagang Pekanbaru (Riau).

Saya terpaku, kenangan melayang, menerawang ke masa silam kehidupan keluarga kami sekitar tahun 1956-1967 di Baserah -Kuantan Singingi (Riau). Sebuah nostalgia seorang adik kandung yang terlibat langsung di dalam perjalanan hidup almarhum periode itu,”ujar Rusdji S Abrus waktu itu.

Apa yang diulas Mosthamir Thalib pada halaman belakang buku Rus Abrus ada yang tercecer, …“ Selesai SMA Rus Abrus meneruskan pendidikan ke IKIP Malang (Jawa Timur). Seterusnya di Lembaga Administrasi Negara - Jurusan Administrasi Negara di Jakarta.

Mustamir Thalib menulis catatan yang tercecer dari seorang  Rustam S Abrus sampai sekolah di Malang.  Menjadi guru di Jambi. Sekolah lagi di Jakarta sambil jadi guru dan wartawan surat kabar. Kemudian pulang ke Pekanbaru menjadi pegawai Pemda Riau.

Bang Soetom demikian adik-adiknya memanggil Rustam S. Abrus, setamat SMA Muhammadiyah di Padang (Sumatra Barat) awalnya meneruskan pendidikan ke Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Batusangkar masih di Sumatra Barat.

Masih jelas dalam ingatan adiknya, Bang Soetom sebagai mahasiswa bangga dengan jaket dan kopiah almamaternya PTPG. Kopiah itu sering dipakai waktu salat di rumah atau di masjid.

Dari foto album yang pernah saya lihat, di antaranya ada foto Rus Abrus dengan seragam mahasiswa PTPG menjalani perpeloncoan sedang mendaki tanah pegunungan di kawasan Bukittinggi.

Belum setahun menghuni almamater tersebut, di Sumatera Tengah pecah pemberontakan PRRI. Perang saudara ini mengakibatkan Bang Soetom memilih pulang kampung tidak gabung bersama tentara pelajar PRRI.

Keputusan ini diambil karena kondisi beda dengan ayah kami (Engku Mudo Sarmin Abrus). Ayah sebagai orang Masyumi harus ikut PRRI. Sedangkan Bang Soetom sebagai mahasiswa tidak harus.

Analisa beliau berdua “Si Ayah Keluar ikut  PRRI dan Bang Soetom tetap di dalam dan berusaha jadi orang agar kelak mampu membela adik-adiknya.”

Waktu itu usia saya sudah enam tahun (dua tahun di TK) dan suka nguping menyimak bualan orang tua. Seperti bualan Bang Soetom dengan mondek (ibu kami).

Bang Soetom menceritakan rapat kilat dua beranak sebelum pisah dengan ayah di Lubuk Jambi, sebelum meneruskan ikut mengungsi masuk hutan ke daerah Sijunjung.

Setahun setelah mengabdi sebagai guru SMA ikatan dinas di Telukkuantan, Bang Soetom minta izin kepada mondek, tino (nenek) dan janten (kakek) untuk meneruskan sekolahnya ke tanah Jawa.

Jalan ini ditempuh, khawatir kalau tetap di Kuantan Singingi akan diambil tentara Pusat (waktu itu Yon Diponegoro TNI AD sudah masuk di Padang).

Dengan harap-harap cemas, Bang Soetom dilepas juga dengan dibekali sebuah paoen (leontin emas berpeniti milik tino).

Sekitar tahun 1957 Bang Soetom berangkat ke Jakarta. Merasa tidak aman kemudian memilih terus ke Malang  dan diterima kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga filial Malang (cikal bakal Universitas  Brawijaya).

Kota Malang dipilih dengan pertimbangan suasana lebih sejuk. Biaya hidup juga murah. Hal ini diungkapkan Bang Soetom dalam suratnya dan kami tentu hanya bisa mengamini saja.

Selama hidup di Malang, Bang Soetom tidak mendapat kiriman uang bulanan dari kampung. Mondek hanya seorang petani yang harus menghidupi enam orang (adik-adiknya yang masih kecil-kecil). Janten sudah tua tadinya memang punya usaha bangsal gotah (agen karet).

Dari bantuan dana ikatan dinas itulah biaya hidup dan sekolah didapatnya. Walapun mungkin tidaklah cukup. Bang Soetom rutin tiap bulan mengirimkan telegram, memberi khabar perihal dirinya.

Pernah sekali Bang Soetom minta dikirimkan kain panjang batik. Walaupun permintaan itu penuh tanda tanya namun tetap dipenuhi mondek dan dikirimkan dua helai.

Kemudian kami dapat cerita dari orang kampung yang pulang dari tanah Jawa, ternyata kain batik itu dijadikan Bang Soetom Celana Panjang.

Mendengar itu mondek mengeluh kepada tino ketika bercerita makan sirih (cerita-cerita) “bansek ang yo nak!” (menderita kamu ya nak).

Mondek terenyuh mendengar derita anak sulungnya. Biasanya mondek hanya diam termangu. Memang sifat mondek pendiam.

Di Malang inilah Bang Soetom punya teman sesama mahasiswa perantauan. Diantaranya adalah Saadillah Mursjid (asal Kalimantan Selatan) .

Kelak Saadillah Mursjid  menjadi Menteri Muda/Sekretaris Kabinet Indonesia pada Kabinet Pembangunan V, Menteri Sekretaris Kabinet pada Kabinet Pembangunan VI, dan Menteri Sekretaris Negara pada Kabinet Pembangunan VII saat  Pemerintahan  Presiden Suharto).

Tentang sahabatnya Saadillah Mursjid  ini, Bang Soetom pernah cerita, mereka bertemu di Jakarta diakhir masa orde lama. Yakni sewaktu sama-sama melamar pekerjaan di BAPPENAS Jakarta. Namun Bang Soetom mundur, memilih pulang ke Riau.

Tahun 1960 Bang Soetom pulang dari Malang setelah meraih ijazah sarjana muda ilmu ekonomi dan langsung ke Jambi menjadi guru SMA Negeri.

Dari telegram yang kami terima Bang Soetom mengabarkan harus segera ke Jambi menyelesaikan ikatan dinas guru yang belum dibayar sejak tempo hari di Telukkuantan.

Itulah alasannya. Namun hati kecil orang tua bertanya: “Apa iya tak punya ongkos untuk sampai ke Baserah?

Di kota Jambi selain jadi guru, Bang Soetom aktif dalam seni sastra, teater, dan membuka kursus Bond A&B. Salah satu muridnya adalah Marzuki Usman. 
Kelak sang murid menjadi orang penting. Di masa Pemerintahan Presiden BJ Habibie, Marzuki Usman menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998-1999). Kemudian pada tahun 1999 dia diangkat sebagai Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Dan di masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Marzuki Uslam menggantikan Nurmahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan.
Tahun 1962, Bang Soetom pulang dari Jambi. Pada ayah diutarakan rencana ke Jakarta untuk meneruskan sekolah yang belum selesai.  (Waktu itu ayah sudah di kampung, PRRI sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi). 
Bang Soetom banyak membawa oleh-oleh. Yang menyolok buku-buku dan baju baru. Baju itu sebagian dibagikan. Sisa katanya sebagai persediaan selama sekolah di Jakarta. Sebelum berangkat ke Jakarta, saya diajarkan cara menyusun buku dan majalah dalam almari. Berdirilah Perpustakaan Abrus Library.

Sepeningalnya perpustakaan itu saya urus. Ketika itulah saya mulai mengenal buku-buku Pujangga Baru. Mulai dari Sutan Takdir Alijahbana, Abdul Muis, Hamka, dkk (buku Layar Terkembang, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Vander Wick, dan sebagainya), sampai angkatan sesudahnya: Pramudya AnantaTur, Ayib Rosidi,  NH Dhini, Motinggo Boesye, dan lain-lain.

Aneka majalah di antaranya majalah sastra Kisah (sejak itu saya tau siapa itu HB Jasin, Paus Sastra Indonesia) dan naskah-naskah ketikan cerpen karangan Bang Soetom sendiri.

Kalau tidak salah cerpen Keremunting  ditulis sewaktu di Padang, Sehelai Tikar Sembahyang di Malang. Sedangkan drama Islamnya Umar bin Khatab (dari catatan yang ada) ditulis Bang Soetom sendiri dan sudah dipentaskan sewaktu di Jambi.

Agaknya Islamnya Umar bin Khatab versi Baserah daur ulang bersama mamak Bustamam Halimy. Itu bentuk perwujudan rendah hati kepada Bustamam Halimy  (waktu itu sudah jago teater di kampung).

Selain naskah-naskah yang dibahas Mosthamir Thalib dkk itu, ada dua buah cerpen yang menarik yaitu Terhempas dan Ali Atom.

Cerpen Terhempas berkisah tentang cinta back street yakni percintaan yang dilakukan secara rahasia dengan berbagai alasan dua anak manusia. Di akhir cerita sang arjunanya betul-betul terhempas ditendang oleh ayah sang gadis sewaktu tertangkap basah.

Sedangkan cerpen yang lain berjudul Ali Atom berkisah, tentang anak muda yang kocak, cerdas dan santun ala Melayu (kocaknya mirip tokoh cerita bergambar Ali Oncom harian Pos Kota, Jakarta).

Sayang perpustakaan Abrus Library, ikut punah sewaktu rumah kami di Baserah terbakar.

Di Jakarta, Bang Soetom tinggal di daerah Salembah Tengah. Bekerja menjadi guru SMA Nasional di daerah Senen. Menjadi wartawan Harian Duta Masyarakat dan kuliah di Lembaga Administrasi Negara - Jurusan Administrasi Negara tidak jauh dari Istana Merdeka.

Pemimpin Redaksi koran tempatnya bekerja adalah Mahbub Djunaidi (tokoh NU) dan salah seorang temannya sama-sama wartawan adalah Harmoko (belakang jadi Ketua Umum Golkar dan Menteri Penerangan RI).

Mengenai sahabatnya Harmoko, Bang Soetom cerita agak geli. Setelah lama pisah mereka bertemu di Pekanbaru. Harmoko berkunjung ke Riau sebagai Ketua PWI Pusat disambut oleh Bang Soetom sebagai Ketua PWI Riau namun memakai kostum seragam pegawai Pemda.  

Sahabatnya itu tertegun,“Jadi kamu ini pegawai negeri ya, Rus?“

Asal usul menjadi Pegawai Negeri juga di luar dugaan dan agak unik. Tatkala Gubernur Riau, Arifin Achmad  (1967) baru selesai dilantik di Istana Merdeka, Jakarta. Di sela wawancara dengan wartawan Gubernur Riau ke-3 itu berkata: “Kalau di antara kalian ada yang berasal dari Riau, pulanglah! Kita bangun daerah.”

Bak gayung bersambut, teman-teman wartawan mendaulat Arifin Ahmad agar Bang Soetom diterima menjadi staf beliau di kantor Gubernur dan terjadilah negosiasi yang menjanjikan.

Peristiwa ini diceritakan Bang Soetom kepada ayah di Baserah sepulang dari Jakarta mau pamitan ke Pekanbaru. Sebelumnya dapat tawaran dari petinggi NU yang duduk di Kabinet RI untuk bekerja jadi staf kedutaan di New York (USA) atau ikut Wamil Polri di Sukabumi, menjanjikan namun jauh dari kampung.

Katanya pada ayah, kalau gagal di kantor gubernur, ia akan melamar pekerjaan di PT. Caltex Rumbai, Pekanbaru.

Sesampai di Pekanbaru, ditemani Moeslim Sidik, SH (saudara sepupu) berangkatlah Bang Soetom menuju kediaman Gubernur Riau. Sang gubernur menepati janjinya sehingga jadilah Bang Soetom Kepala Humas Kantor Gubernur Riau.

Tahun-tahun berikutnya saya tidak lagi terlibat langsung dalam perjalanan hidupnya karena pisah domisili.

Itulah Rus Abrus alias Bang Soetom. Di mata kami adik-adiknya, Bang Soetom adalah sosok yang komplit. Mampu merubah peta kehidupan keluarga dari petani jadi pegawai, memberi petuah yang bernas kepada adik, anak, dan kemenakan tatkala duduk bersenda gurau jauh dari suasana formal.

Di puncak karirnya takala dipromosikan Gubernur Riau Soeripto menjadi Wakil Gubernur  Riau terlihat mulus.

Benarkah?

Entahlah…..

Namun terbersit dalam hati bahwa keberhasilan menembus jalur berliku di era Orde Baru itu, banyak sedikit pastilah berkat peranan sahabatnya di jalur x, y, dan z.

Siapa lagi kalau bukan Saadillah Mursjid  dari Bina Graha dan Harmoko dari Golkar.

Benarkah?

Wallahu alam!
-----------------

KETIKA  menjabat sebagai Wakil  Gubernur Riau, Rustam S. Abrus merupakan Tokoh Utama di balik pemekaran wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Riau. Termasuk  Kuantan Singingi.

Bersama sejumlah tokoh masyarakat Kuantan Singingi waktu itu, Rustam  meng-inisiasi  pertemuan tokoh masyarakat Kuantan Singingi perantauan di Pekanbaru. 
Rekomdasi dari pertemuan itu adalah  pelaksanaan  Musyawarah Besar  Masyarakat Kuantan Singingi di Telukkuantan pada: 9 – 10  Juni 1999.

Ketika Kuantan Singingi dimekarkan jadi Kabupaten adik kandungnya, Drs. H. Rusdji S. Abrus   ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas  Bupati Kuantan Singingi  (8 Oktober 1999 s.d 1 Juni 2001). 

Rusdji menjabat sebagai Bupati Kuantan Singingi depenif (1 Juni s.d Agustus 2001).  Rusdji terpilih  setelah menang dalam pemilihan yang dilaksanakan anggota DPRD Kuantan Singingi.

Namun Rusdji menjabat sebagai Bupati  Kuantan Singingi selama satu bulan karena meninggal dunia secara mendadak akibat jantung. Ia meninggal dunia ketika melakukan pertandingan olahraga persahabatan dengan salah satu kabupaten di  Provinsi Sumatera Barat.   
----------------

SUDAH sepantasnya pula Pemerintah  Kabupaten Kuantan  Singingi   memberikan penghargaan kepada Rustam S. Abrus dan adiknya Rusdji S. Abrus sebagai tokoh perjuangan pemerkaran  Kuantan Singingi.  

Penghargaan itu tidak selalu berbentuk uang, cendramata atau kalung emas seperti yang sering terjadi selama ini.  Penghargaan itu bisa jadi nama mereka diabadikan sebagai nama  jalan, gedung, aula,  atau perpustakaan.  

Alangkah indah jika nama Rustam S. Abrus diabadikan sebagai nama  Perpustakaan di Kabupaten Kuantan Singingi  sebagaimana  Pemerintah Provinsi Riau memberi nama  Perpustakaan Soeman HS yang terletak di Jl. Jendral Sudirman, Pekanbaru.  

Bukankah dulu  Rustam S. Abrus punya perpustakaan pribadi bernama: “Abrus Library* yang ikut  punah sewaktu rumahnya di Baserah ikut terbakar.
Sedangkan nama adiknya Rusdji mungkin bisa diabadikan dalam bentuk lain. Terserah yang berkuasalah.

Mimpi… semoga ini menjadi Kenyataan.  

Mantan Ketua  Umum Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS) Jakarta, Mutari Usman pernah berkata: Kalau tidak sekarang kapan lagi.  Kalau tidak kita siapa lagi  yang menghargai jasa pejuang itu.

Semoga….
***

Publishedby:  FORUM IKKS/IWAKUSI INONESIA
0812022



Tulis Komentar