Pelestarian Hutan

Diduga Terlibat Karhutla, PT Arara Abadi Dilaporkan Jikalahari ke Polda Riau

Presiden Joko Widodo ketika meninjau salah satu lokasi karhutla di Riau tahun lalu. Pic.kps/anews

Pekanbaru (ANews) - Diduga terlibat tindak pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah operasinya,  Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) melaporkan PT Arara Abadi Distrik Sorek ke Polda Riau. Laporan ini terkait terbakarnya lahan milik perusahaan tersebut seluas 83 hektar di wilayah Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan beberapa waktu lalu.

Okto Yugo selaku Wakil Koordinator Jikalahari menjelaskan mengatakan laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan karena telah melanggar Pasal 98 Ayat (1) UU No 32/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Menurutnya, pasal 98 ayat 1 UU no 32/2019 menyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00.

"PT AA sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup merujuk pada PP No 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan atau Pencemaran lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan," katanya di Pekanbaru, Rabu (15/7).

Ditambahkan Okto, berdasarkan hitungan Citra Sentinel 2, luas lahan yang terbakar sejak 28 Juni 2020 itu seluas 83 hektar. Dimana telah merusak gambut dan lingkungan hidup termasuk melebihi baku mutu ambien udara yang merugikan lingkungan hidup senilai Rp 20.6 Miliar.
"Lahan terbakar itu adalah lahan yang siap untuk ditanami akasia. Malah ada beberapa blok yang ditemukan akasia yang telah ditanam dan tidak terbakar," bebernya.

Dengan demikian Jikalahari menduga, perkara karhutla di wilayah itu sengaja dilakukan oleh pihak perusahaan dengan alasan mengurangi baiat operasional.

Dikatakan lagi, kala itu api diklaim berasal dari lahan masyarakat, namun hasil pengamatan Jikalahari jarak lokasi kebun masyarakat dengan lokasi kebakaran mencapai 680 meter. Malah tidak ada penghubung api. 

"Tidak mungkin apinya sampai ke lahan PT AA jika awal api berada di lahan milik warga," tuturnya.
Menurut Okto, dugaan tersebut diperjelas lagi dengan hasil analisis hotspot melaui satelit Terra Aqua-Viirs. Dimana hotspot dan kebakaran di luar konsesi lebih dulu teriadi yaitu pada 24 Maret 2 April 2020. Sedangkan di dalam areal konsesi PT AA hotspot dan kebakaran terjadi pada 28 Juni 2020.

Sementara, dari hasil overlay titik kordinat lokasi kebakaran dengan Peta Indikatif Restorasi Gambut Badan Restorasi Gambut (BRG), areal kebakaran berada pada zona merah. Artinya prioritas restorasi pasca kebakaran 2015-2017 yang harus direstorasi, namun tidak dilakukan restorasi dan kembali terbakar.

Kemudian dari analisis melalui Citra Satelit Sentinel 2 itu, Jikalahari menemukan pada Januari 2020, areal yang terbakar merupakan hutan alam yang ditumbuhi semak belukar. Lalu, pada Februari 2020 areal yang terbakar mulai ada pembukaan lahan. Selanjutnya pada Maret Mei 2020 membuka kanal baru dan menambah pembukaan lahan. Terakhir pada Juni 2020 terus menambah pembukaan lahan hingga terbakar pada 28 Juni 2020.

"Jikalahari merekomendasikan agar Polda Riau segera menetapkan PT Arara Abadi sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan yang mencemari udara, merusak gambut dan lingkungan hidup," harapnya.

Diluar itu, pihaknya juga meminta KLHK segera cabut PT Arara Abadi yang terbakar untuk dipulihkan menjadi kawasan fungsi lindung gambut. (ZET)



Tulis Komentar