UU Cipta Kerja 

Fahri: 'Deal-deal' Politik Ketum Parpol

Fahri Hamzah

Jakarta (ANews)-Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah menyatakan tak mau terjebak menyikapi pro kontra Omnibus Law UU Cipta Kerja yang muncul di publik.

Menurutnya, semua pihak yang menolak maupun mendukung UU tersebut dikendalikan ketua umum partai politik (parpol) yang melakukan 'deal-deal politik' dan mengambil untung dari peristiwa ini. Belum ada tanggapan atau komentar dari Ketua Umum Partai Politik ataupun Partai Politik terkait tudingan Fahri. 

"Saya tidak mau terjebak dengan kemarahan, baik yang mengklaim bersama rakyat maupun tidak. Itu semua orang-orangnya dikendalikan parpol, tidak dikendalikan aspirasi rakyat," ucap Fahri Minggu (11/10).

Fahri menuturkan, apabila ada parpol yang semula mendukung UU Ciptaker lalu mendadak di pihak rakyat dengan menolak hal itu juga tak lepas dari kendali parpol masing-masing.

Ia menilai, penolakan terhadap UU Cipta Kerja itu bukan murni aspirasi rakyat melainkan hanya mempertimbangkan untung rugi sebuah peristiwa politik.

Mantan Wakil Ketua DPR ini mengatakan, independensi seorang anggota DPR tak ada lagi karena sudah digantikan peran parpol.

"Ketum, waketum, sekjen, bendum sangat powerful sekali, tinggal  telepon kalau ada transaksi. Konstituensi menjadi tidak penting lagi ketika sudah dikendalikan parpol. Ini seperti lingkaran setan," katanya.

Fahri mengatakan, mata rantai lingkaran setan ini harus diputus karena parpol telah mengangkangi pejabat publik, mengendalikan anggota DPR, hingga presiden.

Menurutnya parpol telah melakukan kegiatan subversif terhadap kedaulatan rakyat. Padahal semestinya parpol menjadi think thank atau pemikir yang berkontribusi pada bangsa, bukan mengendalikan wayang-wayang politik yang dipilih rakyat.

"Kendali parpol bukan hanya di legislatif, tapi juga di eksekutif. Wali kota, bupati, gubernur, bahkan juga presiden ditekan. Ini semua harus dihentikan, tidak ada lagi yang harus menjadi petugas partai," ujarnya.

Akibatnya, lanjut Fahri, DPR saat ini mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa akibat pengesahan UU Cipta Kerja yang begitu cepat.

Tak dipungkiri jika kemudian peran DPR dipertanyakan menjadi wujud kedaulatan rakyat atau sekadar mewakili kepentingan parpol atau lainnya.

"Kita tidak tahu anggota DPR ini bekerja untuk rakyat atau kepentingan lain. Ini krisis besar parpol, krisis besar lembaga perwakilan. Kita tidak tahu madzab atau falsafah di belakang Omnibus Law ini, tiba-tiba menjadi rencana dalam program legislasi nasional, dan tiba-tiba sudah disahkan jadi undang-undang," jelasnya.

Lebih lanjut Fahri mengatakan, pengesahan UU Ciptaker ini bisa menjadi yurisprudensi untuk mengajukan gugatan ke pengadilan guna memutus mata rantai lingakaran setan kekuatan parpol di legislatif dan eksekutif.

Menurutnya, keterlibatan parpol dalam pembahasan berbagai kebijakan ini sudah terlalu besar.

"Saya sedih melihat DPR dan pemerintah terlalu cepat membohongi rakyat, sehingga Omnibus Law ditolak rakyat di mana-mana," pungkas Fahri.

Sebelumnya, pengesahan UU Cipta Kerja dipercepat dalam sidang paripurna 5 Oktober lalu.

Sebanyak tujuh fraksi setuju dengan pengesahan tersebut, dua lainnya yakni Demokrat dan PKS menolak.

Adapun tujuh fraksi yang menyetujui yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, PAN, dan PPP.

Saat paripurna, Demokrat memilih untuk walk out dari pembahasan. Penolakan pun muncul dengan berbagai aksi demonstrasi yang berujung ricuh di sejumlah daerah.

Puncaknya, terjadi kericuhan dalam aksi demonstrasi di Jakarta 8 Oktober lalu. Sejumlah pos polisi dan halte bus Transjakarta dibakar. Sementara ribuan orang yang ikut aksi ditangkap polisi.(RMH/cnni)



Tulis Komentar