No Mudik No Piknik
Oleh: Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env
JUDUL di atas mungkin tidak salah dan berlebihan jika dikaitkan dengan suasana menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1442 H tahun 2021. Dan mungkin ini adalah hari raya pertama di era modern di Tanah Air, yang tidak disertai dengan ritual mudik lebaran serta piknik lebaran. Jika di Bumi Lancang Kuning, lebih dikenal dengan isitilah balek kampong atau pulang kampuang, kini akan menjadi saksi sejarah.
Lebaran tahun ini, akan jauh berbeda suasana kebatinan berbanding lebaran sebelumnya di Tanah Air. Tahun lalu dalam suasana pandemi Covid-19 masih juga berlangsung ritual mudik lebaran plus piknik lebaran, karena ketika itu belum ada larangan tegas dari pemerintah. Untuk tahun ini, ritual tersebut harus dikubur dalam dalam, karena pemerintah sudah mengeluarkan edaran larangan mudik lebaran tahun ini, baik di tingkat nasional, maupun di daerah yang akan memberlakukan penyekatan perbatasan dan larangan penerbangan dan transportasi laut. Semuanya adalah demi kebaikan kita bersama, demikian moto dan pesannya.
Kota yang kesepian ditinggalkan warga selama bertahun tahun ketika lebaran tiba, kini akan tetap ramai seperti biasanya. Ledakan penduduk desa atau kampung akibat limpahan pemudik juga tidak akan terjadi tahun ini. Dendang lagu bahwa perantau bukannya tidak rindu balek kampong, tapi karena orang kampung takut dan khawatir kedatangan orang dari kota kian menggema. Tidak balek kampong tahun ini adalah bukti perantau cinta dan sayang dengan kampung dan orang kampung. Begitu juga sebaliknya, keengganan orang kampung menerima pemudik juga bukti cinta kepada para perantau.
Itulah kenyataan hari ini. Dunia seperti menjadi terbalik. Jika dalam keadaan normal, berjabat tangan dan berpeluk erat dengan kerabat dan teman sejawat adalah bukti kecintaan dan kasih sayang, namun sekarang menjadi terbalek adanya. Tidak berjabat tangan dan berpeluk sebagai bentuk rindu mendalam, merupakan bukti cinta dan kasih sayang antar sesama kerabat dan insan.
Begitu juga di mesjid, dalam keadaan normal disunnahkan untuk merapakan jarak dalam shaf sholat, namun sekarang dengan sukarela atau terpaksa harus berjarak dalam shaf dan tidak dipekenankan untuk berjabat tangan, apalagi berpelukan antar sesama jemaah. Termasuk, jika ada saudara kita yang sakit karena terindikasi Covid-19, yang biasanya kita jenguk berami-ramai sebagai tanda kasih dan sayang. Tapi sekarang tidak demikian, justru tidak menjenguk sebagai bukti kasih dan sayang. Termasuk juga ketika meninggal dunia karena terpapar Covid-19 tidak bisa ramai-ramai mensholatkan jenazah dan harus ikut protokol kesehatan ketat, termasuk prosesi memandikan, mengkafani hingga menguburkan jenazah serta kuburannya juga tersendiri.
Dunia semakin terbalik, dan mungkin sudah mendekati umur dunia. Yang memang di dalam kitab suci disebutkan akan hancur, yang disebutkan dengan hari kiamat. Dunia memang seudah semakin menua dan semakin uzur. Mungkin juga sudah cukup lelah menampung kerakusan,keserakahan, dan kedurhakaan umat manusia. Perbuatan syirik dan maksiat makin merajalela. Perilaku menyimpang berupa lesbian, gay, bisexual dan transgender (LGBT) yang dikutuk agama dan dibenarkan para pemujanya. Hidup serumah tanpa ikatan pernikahan. Praktek ribawi dalam keuangan. Pembunuhan dengan kekerasan dan kekejaman luar biasa, seperti memotong motong mayat (mutilasi). Penggunaaan narkoba, estacy dan yang sejenisnya. Kekerasan dalam rumah tangga. Korupsi merajela. Prostitusi online. Judi online. Perang saudara. Pencemaran lingkungan. Dan masih banyak yang lainnya, yang tidak elok jika disebutkan di dalam suasana bulan Ramadhan.
Kini, dunia sudah memasuki gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang diperkirakan akan jauh lebih dahsyat lagi. Menariknya, untuk Indonesia tidak mengenal gelombang 1, 2 atau 3 seperti yang berlaku di Malaysia atau negara maju lainnya. Indonesia terus bergelombang. Dalam artian dalam kondisi terus siaga dan berfluktuatif. Zona merah, oranye, kuning dan hijau silih berganti bertukar posisi.
Sehubungan dengan itu, marilah kita semua warga bumi Lancang Kuning, untuk berusaha seoptimal mungkin terhindar dari terpapar pandemi Covid-19 dengan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Dan yang penting lagi dengan senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mohon perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan dari wabah pandemi Covid-19. Semuanya bermuara kepada ketetapan dan kehendakNya.
Tidak mudik dan tidak piknik dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri 1422 H dalam tahun ini adalah pilihan cerdas dan bijak, dan inshaAllah merupakan buah dari ibadah puasa ramadhan, yaitu; melatih kesabaran. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Taqabbalallahu Minna wa Minkum.
Penulis adalah Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Email: [email protected] dan [email protected]
Tulis Komentar