Opini

Gak Bayar Pesangon? Penjara Menanti

MAYANDRI SUZARMAN.

 

OLEH : MAYANDRI SUZARMAN, SH.MH

   

Untuk mewujudkan tujuan pembentukan pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka negara perlu melakukan berbagai hal dan upaya untuk memenuhi hak warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi kemanusiaan.

    Warga Negara merupakan sumber tenaga kerja dan juga sumber daya manusia yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan untuk mencapai kesejahteraan umum dan meningkatkan kualitas kehidupan. Oleh karenanya, upaya perlindungan tenaga kerja merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut diharapkan tenaga kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Selain itu, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha.
Perlindungan warga Negara sebagai tenaga kerja tercermin didalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.  Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.  Kemudian Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan pekerja/buruh dapat saja terjadi dalam pembuatan perjanjian kerja. Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara penyedia lapangan kerja dengan pekerja/buruh dapat menyebabkan terjadinya suatu ketimpangan. Secara tidak langsung pekerja/buruh hanya akan diberi pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya, sedang di sisi lain memberi banyak keuntungan pada pengusaha.

Oleh karena itu, diperlukan instrument  berupa regulasi yang mengatur sedemikian rupa perlindungan atas hak-hak pekerja didalam bekerja, namun regulasi tersebut juga harus mengakomodir kepentingan dunia usaha sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik dan seimbang tanpa merugikan salah satu pihak.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha adalah dengan mengatur besaran pesangon yang akan diterima apabila Pekerja di PHK oleh pengusaha. Selama ini para pekerja banyak yang mengeluh dan meratapi nasib ketika apa yang menjadi hak mereka tidak kunjung dipenuhi oleh pengusaha, walaupun telah ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pengaturan mengenai pesangon pekerja/buruh yang di PHK  telah diatur didalam Pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang telah diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal tersebut mengatakan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan / atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Besar atau kecilnya jumlah pesangon yang diterima bergantung kepada masa kerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Begitu juga dengan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Uang pesangon ini hanya dapat diberikan kepada pekerja tetap.

    Masalah yang kemudian muncul adalah ketika pekerja/buruh yang telah di PHK tidak menerima hak-haknya sebagaimana yang diamanatkan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Hal ini terjadi karena pekerja/buruh tidak mengetahui bagaimana alur untuk memperoleh pesangon dan besaran pesangon yang seharusnya mereka dapatkan.
    Tidak jarang pula persoalan PHK dan pesangon ini sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan inilah yang akan memutuskan apakah PHK yang dilakukan sah atau tidak serta hak-hak apa saja yang harus diterima oleh pekerja / buruh atas PHK yang terjadi pada dirinya.

    Namun, walaupun sudah ada putusan pengadilan hubungan industrial, masih banyak juga pekerja/buruh yang harus  menelan pil pahit karena pengusaha tidak serta merta mau menjalankan putusan pengadilan tersebut, sehingga pekerja / buruh harus berjuang lagi ke pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan. Hal ini tentu saja memerlukan proses yang panjang dan juga memakan waktu yang lama, sementara jumlah pesangon yang diterima terkadang tidak pula seberapa.

    Kabar gembira untuk pekerja/buruh datang dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merubah Ketentuan Pasal 185  ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal yang sudah dirubah tersebut terdapat ancaman bagi pengusaha yang tidak mau membayar uang pesangon sebagaimana dimaksud ketentuan pasal 156 ayat (1) diatas.
Pasal 185 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  
“ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1) atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).

    Namun demikian, walaupun telah diatur dalam ketentuan diatas, menurut penulis untuk dapat memproses hukum pengusaha yang yang tidak membayar pesangon kepada pekerja/buruh yang di PHK, haruslah melalui proses persidangan pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu. Karena Pengadilan Hubungan Industriallah yang berwenang untuk menyatakan apakah PHK tersebut sah atau tidak, dapat pesangon atau tidak serta menentukan berapa jumlah pesangon yang harus dibayar oleh pengusaha.
 
    Artinya, pengusaha baru dapat dituntut secara hukum apabila tidak melakukan pembayaran pesangon berdasarkan putusan pengadilan hubungan industrial yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi, dengan adanya ketentuan tersebut, tidak ada lagi kekawatiran bagi pekerja/buruh yang di PHK oleh pengusaha tanpa pesangon. Pekerja /buruh tidak perlu lagi repot-repot mencari asset pengusaha untuk diminta sita eksekusi ke pengadilan guna memaksa pengusaha memenuhi isi putusan. Pekerja/buruh tinggal laporkan saja pengusaha ke penegak hukum jika ngeyel tidak mau membayar pesangon sesuai dengan putusan pengadilan.

    So? Bagaimana pengusaha? masih berani mempermainkan pesangon buruh? Jika masih, Siap-siaplah masuk  kandang situmbin selama 4 (empat) tahun, biar bisa merasakan dinginnya ubin dan nikmatnya ransum gratis.
Seperti lirik lagu D’Lloyd:
Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung


MAYANDRI SUZARMAN, SH.MH
Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Bengkulu Kelas 1A



Tulis Komentar