Dokumenter Amanah News

Intan Hoesin (1914-1987): Membangun Kantor Camat Kuantan Tengah dengan "Botol"

Intan Hoesin. (F:dok-ANews)

Oleh : Team Sahabat Jang Itam

SULIT memang dipercaya bahwa kantor  Tjamat (baca Camat)  Kuantan Tengah  “tempoe doeloe” dibangun dari hasil penjualan botol yang dikumpulkan masyakat. Tapi itulah realitasnya!

Masyarakat  Kecamatan Kuantan Tengah secara swadaya membangun kantor camat dari hasil penjualan botol.  Itulah salah satu episode perjalanan sejarah yang catatannya mungkin sudah hilang. Untung masih ada yang meyimpan dan mengenangnya.

Lalu bagaimana ceritanya……?

Inilah kisah pembangunan kantor camat Kuantan Tengah diceritakan kembali oleh Drs. Rustian Noer - salah seorang anak camat Kuantan Tengah yang  berstatus sebagai  asisten wedana, Kabupaten  Indragiri: Intan Hoesin gelar Rang Kayo Sutan (1964-1970).
-----------------

KETIKA Ayahanda dilantik jadi camat   Kuantan Tengah 1964, ayahanda masih numpang di kantor kewedanaan  Rantau Kuantan.  

Ayahanda berkeinginan memiliki kantor sendiri sebagaimana sebelumnya ketika  menjabat camat di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik kurun waktu 1960-1963.

Ibarat  kata pepatah: seenak-enaknya numpang atau  tinggal di rumah orang, enak juga di rumah sendiri.  

Ayahanda lalu berinisiatif membangun kantor baru. Ayahanda  mengumpulkan Pak Banjar –sekarang Kepala Desa yang ada di Kecamatan Kuantan Tengah. Mulai dari Kari, Telukkuantan, Sentajo, Benai, Siberakun, Simandolak,  Kopah, Jake, dan Teratak melaksanakan musyawarah.

Dihadapan Pak Banjar inilah Ayahanda  menyampaikan   keinginannya untuk membangun kantor camat. Ternyata gayung bersambut. Keinginan Ayahanda rupanya didukung oleh seluruh Pak Banjar.  

“Keinginan Pak Camat itu keinginan kami juga. Tapi kami tak punya kuasa untuk melaksanakannya. Keinginan Pak Camat ini harus terwujud. Jika tidak kita siapa lagi. Jika tidak sekarang kapan lagi. Mari kita mulai kerja mulia ini dengan niat yang mulia, Pak Camat,” ujar Pak Banjar dari Kenegerian Sentajo, H. Mohamad  Samin.  

Mohamad Samin adalah salah seorang tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Rantau Kuantan dan orang tua dari tokoh masyarakat Kuantan Singingi dan Sejarawan Riau Prof. H. Suwardi MS.

Namun ketika ayahanda menyampaikan persoalan dana untuk mewujudkan bangunan tersebut, sejenak Pak Banjar yang hadir terdiam sejenak. Mereka ikut berpikir bagaimana  mencari dana untuk pembangunan tersebut. Tapi tekad mereka sudah bulat. Ibarat pepatah Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Sekali kata terucap, pantang untuk ditarik kembali.

Ayahanda lalu minta saran dan pendapat  Pak Banjar bagaimana solusinya. Berbagai usulan muncul ditawarkan oleh peserta rapat. Di antara usulan tersebut yang paling unik itu soal botol.  

Ide unik diusulkan ayahanda kepada peserta rapat. Ini berangkat dari pengalamanya ketika berjuang melawan Jepang dan  Belanda. Di tengah hutan, di tengah perjuangan itu, jika kita haus “dewa” penyelamat adalah air yang disimpan dalam botol.

Kenapa….?

Ayahanda menceritakan kisah sebuah botol dalam sebuah perjuangan. Sebuah pengalaman pribadi yang patut disimak. Sebuah botol memang tidak ada nilai jualnya. Berserakan pun orang akan membiarkannya. Namun jika botol itu dikumpulkan dalam jumlah yang banyak tentu nilainya jualnya akan lain.

Akhirnya diperoleh kata sepakat:  bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.  Masing-masing Pak Banjar menggerakkan warganya mengumpulkan botol. Murid-murid sekolah, pemuda, dan perangkat yang ada di Banjar masing-masing  dikerahkan untuk  mengumpulkan  botol.

Usaha keras itu berhasil. Dalam waktu enam bulan terkumpullah botol dalam jumlah banyak. Botol  itu lalu dijual untuk pembangunan  kantor yang mereka impikan itu. Alhamdulillah dalam waktu enam bulan hasil penjualan botol bisa membangun kantor camat Kuantan Tengah.

Berdirilah kantor camat pertama Kuantan Tengah yang berlokasi di antara kantor Polisi Sektor Kuantan Tengah dengan PT. Telkom.

Pembangunan kantor selesai seluruh pegawai yang semula bergabung di kewedanaan  yang berada di sebelah  kantor Pekerjaan Umum (PU) lama dengan kantor Pos & Giro.

Waktu pindah  kantor tahun 1965 itulah ayahanda mengundang seluruh Pak Banjar dan perangkatnya di Kuantan Tengah untuk doa syukuran.  Tentu dengan bangga mereka datang menyaksikan hasil sumbangan mereka yang dulu dianggap sepele sekarang sudah berwujud bangunan siap dan layak pakai.

Di situlah ayah  berpidato dengan mata berkaca-kaca. Rasa haru dan bangga tak terkira yang tersimpan di dalam hati tumpah ruah pada acara tersebut. Tak lupa ia  mengucapkan terima kasih kepada Pak Banjar yang dengan ikhlas mengumpulkan botol sehinggga bangunan kantor camat Kuantan Tengah bisa diselesaikan.

Kendati pidato peresmian disampaikan Intan Hoesin tapi sangat bermakna, menyentuh, dan menusuk ke kalbu siapapun pendengarnya. Tak hanya jago menyampaikan yang tersurat, yang tersiratpun disampaikannya dengan bahasa yang sederhana, santun, apa adanya dan ringan.

Kelak kantor camat itu mempunyai fungsi ganda. Namanya saja kantor milik rakyat. Tatkalah pacu jalur berlangsung,  banyak pula orang yang numpang pasang tenda tidur di halaman kantor camat tersebut karena tidak muat di dalam. Suasana kebatinan dan kekeluargaan itu terjalin dengan akrab di kantor camat yang disebut Intan Hosein milik rakyat tersebut.

Cerita pembangunan kantor camat Kuantan Tengah dari botol sampai kini masih diingat dan sering diceritakan  masyarakat Kecamatan  Kuantan Tengah yang berumur di atas 50 tahunan.

Begitu juga dengan anak sekolah  yang menempuh pendidikan antara waktu 1960-an s.d 1990 an. Sebab, guru mereka di sekolah selalu menceritakan kisah itu untuk memberikan semangat agar terus mengejar ilmu setinggi langit.

Saya sebagai salah seorang anak Intan Hoesin tidak akan melupakan kisah itu. Kisah itu nyata dan perlu juga diketahui oleh generasi penerus di Kuantan Singingi bahwa motto: bersama kita bisa itu memang luar biasa hasilnya.

Lama saya tutup cerita ini.  Tapi seiring  perjalanan waktu dan usia yang makin  menua, saya“ingin” berbagi atau menceritakan kembali kisah yang tergolong heroik ini. Saya tak bermaksud ria apalagi menyombangkan diri.  

Saya hanya  menyampaikan realitas sejarah sebagai anak Camat Kecamatan Kuantan Tengah yang melihat dan mendengar cerita pembangunan kantor camat tersebut langsung dari sumbernya: ayah saya sendiri: Intan Hoesen gelar Rang Kayo Sutan

Mohon maaf, jika yang saya sampaikan ini salah atau tak berkenan. Sebab, saya punya keyakinan  kebenaran hakiki itu hanya milik Allah. Dan, kesalahan yang dilakukan tiap manusia bukan untuk di-ceme'eh, tapi untuk diperbaiki.  

Sebagai hamba Allah dengan segala keterbatasan saya menyampaikan sekali lagi maaf sekali lagi maaf.
-----------------

INTAN Hoesin gelar Rang Kayo Sutan merupakan putra Kuantan Singingi yang namanya mungkin terlupakan oleh generasi zaman sekarang.  Intan sapaan akrabnya adalah salah  seorang  pejuang kemerdekaan  yang pada akhirnya merintis karir sebagai pegawai pemerintahan.  

Perjuangan Intan Hoesin sebagai tentara bermula saat pendudukan Jepang tahun 1942 hingga menyerah kepada sekutu 14 Agustus 1945.  

Pasca kemerdekaan pada tahun 1946 ketika berusia 32 tahun, Intan Hoesin  ditunjuk sebagai  Komandan Polisi Militer (CPM)  pada Compi  TNI di Telukkuantan dengan pangkat Letnan II.

Sebagai “Polisi Tentara”, pada Agresi Belanda II Desember 1949, Intan Hoesin menjadi  Wakil Kepala Staf Off Suply Riau Selatan. Usai agresi  Belanda II pemerintah memberikan dua opsi kepada pejuang: melanjutkan karir bergabung di TNI atau pindah di pemerintahan.

Intan Hoesin memilih berkarir di pemerintahan.  Pertama ia ditempatkan sebagai juru usaha Tk. I pada  Kantor Distribusi  Dinas  di Telukkuantan. Selanjutnya pada 1954 ia pindah ke kantor Bupati Indragiri di Rengat.

Pada 1959, Intan  Hoesin pindah lagi ke kantor Kewedanaan Kuantan di Telukkuantan.  Setahun kemudian pada 1960, ia dipercaya memegang jabatan camat di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik sampai 1963. Dalam kurun waktu 3 tahun tersebut,  ia berhasil menuntaskan pembangunan SMP pertama di  Lubuk Jambi, los Pasar Lubuk Jambi, dan membangun SD di setiap desa.

Di SMP Lubuk Jambi itu pula  Mohammad Diah - Rektor Universitas Riau (Unri) Pekanbaru  (1993-1997) jadi kepala SMP Lubuk Jambi (1961-1964). Dari Lubuk Jambi, Mohammad Diah pindah ke Pekanbaru dan diangkat menjadi Kepala SMP PGRI (1967-1972). Setelah itu menjadi Kepala SMPP Negeri  49 (kini SMA Negeri 8) Pekanbaru (1975-1976).

Sebagai camat Kuantan Mudik, Intan Hoesin dipercaya oleh Pemerintah Pusat menjembatani penyerahan pejuang yang tergabung dalam Pemerintah  Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ke pangkuan ibu pertiwi  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Atas kepercayaan itu Intan Hoesin berhasil mengajak pejuang PRRI turun gunung kembali ke pangkuan NKRI. Penyerahan itu  dilaksanakan di SD 01 Lubuk Jambi dalam sebuah kenduri besar dengan melakukan pemotongan sapi.  

Kembalinya pejuang ke pangkuan NKRI disaksikan pasukan dari Batalion Diponegoro dan  Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memang ditugaskan oleh pemerintah Pusat untuk mengambalikan pemeritahan PRRI ke pangkuan NKRI.

Pada 1963, Intan Hoesin dipindah ke Telukkuantan menjadi camat Kecamatan Kuantan Tengah. Waktu itu  kantornya masih bergabung dengan wedana (pembantu bupati).

Saai itulah perjuangannya dimulai. Intan Hoesin mulai berpikir bagaimana caranya membangun kantor kecamatan  Kuantan Tengah.  Niat itu terkendala oleh persoalan anggaran tak ada. Namun ia tak kehilangan akal. Ia lalu memanggil seluruh Kepala Banjar (kenegerian - Desa) musyawarah.

Disepakati masing-masing Pak Banjar mengumpulkan botol untuk dijual. Tak sampai enam bulan terkumpul untuk pembangunan kantor camat. Terkumpul, kantor camat pun berdiri dengan megah.
-----------------

SELAIN itu Intan Hoesin merintis pembangunan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Telukkuantan.  Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Tk. I Provinsi Riau pernah berkunjung ke SPG ketika dipimpin oleh Masperi.

“Ayah saya yang menjemput langsung ke Pekanbaru,” kenang Rustian.

Sayang, sekolah tersebut jejaknya kini hilang tanpa bekas. Di atas tanah bekas salah satu sekolah pencetak guru di Riau sudah  berdiri Pasar Rakyat. Atas nama masa depan dan pembangunan, bangunan sekolah itu dirobohkan tanpa meninggalkan monumen yang menunjukkan dulu di sini ada bangunan sekolah. Begitu juga bangunan SMP 2 Telukkuantan yang ada disampingnya direlokasi ke Desa Beringin Telukkuantan.

Padahal jika bangunan tersebut  tetap dipelihara betapa banyaknya jejak sejarah yang bisa ditautkan kembali terutama oleh alumninya dan anak-anaknya yang tersebar di seluruh penjuru negeri.  Sayang, tapi apa handak dikata.  Nasi sudah bubur, bangunan bersejarah  berkatagori cagar budaya itu kini tinggal nama.

Bangunan SPG Telukkuantan itu punya sejarah panjang. Sebelum dijadikan  SPG, bangunan sekolah itu merupakan bekas Gedung Sekolah Tionghoa di Telukkuantan yang berdiri sejak zaman Belanda.  

Pendirian sekolah  sebagai bentuk reaksi terhadap ketidakpedulian pemerintah Hindia Belanda kepada etnis Tionghoa di Indonesia.  Pada 1909 Perhimpunan Masyarakat Tionghoa yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) mendirikan  sekolah yang bernama Tiong Hoa Hok Tong (THHT). Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi Tiong Hoa HWE Koan. Sekolah tersebut sering disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau sekolah Cina.

Intan Hoesin juga membuat  jalan di depan STM kini SMK 1 Telukkuantan menuju Desa  Beringin. Jalan itu kini dinamakan Intan Hoesin. Sayang papan plang sebagai penanda bahwa jalan yang dulu dibangun dengan gotoroyong pada  Sabtu dan Minggu itu hilang tanpa bekas.

“Sebagai anak saya hanya bisa mengurut dada. Tak ada lagi papan plang nama ayah saya sebagai   penanda Jalan Intan Hoesin di sepanjang jalan tersebut. Saya hanya bisa mengetuk hati  Pak Bupati C.q Dinas Perhubungan buatlah kembali papan plang nama tersebut sebagai penanda jalan Intan Hoesin.  

Penamaan Jalan Intan Hoesein kata Rustian Noer semata-mata bukan untuk diri maupun keluarga besarnya. Melainkan sebagai sebuah penghargaan kepada masyarakat Kuantan Tengah yang waktu itu berjuang untuk mewujudkan pembangunan jalan tersebut.

“Bukan saya saja yang bangga jika nama jalan itu ada tapi seluruh masyarakat akan ikut merasakannya. Saksi hidupnya sekarang mungkin masih ada, kendati sudah banyak yang meninggal dunia,” harap Rustian.
-----------------

SAAT jadi  camat di Kuantan Tengah Intan Hoesin “menghidupkan” tradisi pacu jalur yang mati suri di Tepian Narosa Telukkuantan.  Acara serimonial seperti “maelo” jalur dihidupkan kembali.  Sore hari setelah pacu jalur dilaksanakan pertandingan sepakbola di lapangan Limuno Telukkuantan.

Pada malam harinya juga digelar panggung kesenian dengan mengundang artis Melayu tempo dulu.  Hadiah juga  ditambah sehingga anak pacu jalur kembali bergairah.

Saking antusiasnya masyarakat  menyakskan acara pacu jalur ketika itu, masyarakat relah berkemah di tempat tambatan jalur untuk menyaksikan hiburan pada malam harinya.

Ada istilah anak gadis dan bujang pergi badombai nonton pacu jalur siang hari dan nonton hiburan pada malam hari.  Jika tak ada duit  ayam “maoram di sangkak” (menetas di tempatnya) pun dijual untuk menyaksikan pacu jalur tersebut.

Dan usai acara pacu jalur itulah banyak yang dapat jodoh. Indahnya cinta itu. Begitulah gambarannya kala itu. Baju baru dengan merk terkenal yang selama ini disimpan dalam almari hanya keluar pada saat  hari raya  dan pacu jalur.

Panitia pacu jalur yang diketuai Intan Hoesin  juga  mengundang Bupati Indragiri Masnoer. Ketika menjabat bupati  Indragiri (23 April 1960 sampai 26 September 1976),  Masnoer rajin menghadiri acara pacu jalur. Sang  bupati yang berasal dari Militer ini  di daulat  membuka  dan menutup acara pacu jalur.

Selama 6 tahun menjadi camat di Kuantan Tengah, pemenang pacu  jalur di tepian  Narosa adalah: Toduang Kuantan  Tanah Bekali  Pangian  (1963 dan 1964), Tanjung Baru  Tanjung Simandolak (1965),  Bomber Siberakun (1966 dan 1967), Rajo Bujang Padang Tanggung Pangian (1968), Cahaya Baru Sukaping Pangian (1969), dan Bomber Siberakun (1970).  

Selama perhelatan pacu jalur digelar sejak tahun Bomber dari Sibarakun memang paling banyak meraih juara. Dan, dari iven daerah, pacu jalur kini sudah berkembang menjadi iven  nasional pacu jalur tradisional di Tepian Narosa Teluk Kuantan.

Sayang  nilai-nilai budaya yang dulu kental sekarang  mulai diabaikan.  Pacu jalur sudah berangsur-angsur berubah menjadi  olahraga prestasi. Dulu tukang tari di luan jalur dan tukang onjai di kemudi bangga bisa melaksanakan tugasnya dari pancang star  sampai ke garis finis.  

Sekarang lihatlah di-youtube tentang pacu jalur, baru  saja jalur itu dilepas hakim di pancang star,  tukang tari dan onjai sudah terjun ke sungai karena dinilai menghambat lajunya jalur.  Dan, rasa kebanggaan dan persamaan masyarakat di kampung juga hanya tinggal nama.

Jika ada jalur yang menang pada hari pertama, pada hari kedua dan seterusnya tengoklah siapa dan dari mana anak pacunya.  Di-barter dari kampung sebelah yang sudah jelas kalah tapi di “pakai” – untuk menjadi anak pacu supaya juara.  

Dulu lihatlah  ketika Bomber dari Sibarakun atau Toduang Kuantan  Tanah Bekali  Pangian jadi juara. Anak pacu seluruhnya dari desa atau kenegerian asal jalur tersebut.  Tukang tari dan tukang onjainya pun berdiri kokoh dari pancang star sampai finish. Menari, melenggang,  dan melengok memberikan semangat kepada pemacunya.  

Indahnya tarian tukang tari dan tukang onjai jalur tersebut. Kaki mereka kokoh berdiri di atas jalur di antara gelombang sungai Kuantan yang terkadang tak bersahabat itu.

Sekarang lihatlah  pacu jalur di Kuantan Singingi sangat menyesakkan  dada. Tapi itulah yang terjadi jika “kepentingan” sudah bicara. Desa yang punya jalur terkadang hanya bisa melihat anak jalur dari kampung mereka ikut pacu  pada hari pertama. Selanjutya jika menang, mereka bisa melihat di jalur mereka sudah ada anak pacu dari desa tetangga yang ikut.  

Itu pertanda budaya pun jadi hilang.  Pacu jalur sekarang seakan ada tanpa makna. Masyaa Allah.  

Malas nak cakap…… kebanggaan itu mulai sirna seiring masuknya  teknologi.
-----------------

INTAN Hoesin  lahir di Desa Kenek Poriang - kini Desa Pulau Aro, Kecamatan Kuantan Tengah pada 1914. Mengkhiri tugasnya sebagai pegawai negeri pada 1970 berdasarkan SKP  Gubernur Riau tgl. 12 Juni 1970 No.UP.009/PENS/37 /1970.  

Sebagai pegawai,  jenjang pendidikan Intan Hoesin tidaklah tinggi. Ia  hanya  menempuh pendidikan  Sekolah  Rakyat di Telukkuantan tamat tahun 1928.  Kemudian melanjutkan sekolah Perguruan Agama Islam dan turut dalam latihan perwira di Pekanbaru tahun 1947.  

Tapi jangan tanya kemampuannya dalam menggunakan bahasa asing. Intan Hoesin bahasa Inggris, Belanda karena sebelumnya pernah ikut kursus kedua bahasa tersebut.

Tak hanya Intan Hoesin rata-rata pejuang kemerdekaan tempo dulu mengerti bahasa Inggis dan Belanda.  Bahkan ada juga yang bisa bahasa Jepang, Inggris, Jerman, dan Arab seperti halnya  Radja Roesli dan KH Umar Usman.

Ketika pensiun, Intan Hoesin pernah diminta  Bupati Indargiri Hulu Doelharsono, S.H  untuk menulis buku Napak Tilas Sejarah Rantau Kuantan.  

“Pak Intan Hoesin tolong tulis Sejarah Rantau Kuantan nanti saya kasih uang,” ujar Doelharsono yang menjabat  Bupati Indragiri Hulu pada 26 September 1976 s.d 13 Juni 1984.

Intan Hoesin pun bersemangat menulis  buku itu.  Tiap  jumpa di acara pacu jalur di Telukkuantan, sang bupati bertanya perkembangan buku itu. “Bagaimana kelanjutan bukunya Pak Intan Hoesin,” tanya sang bupati yang berasal dari kalangan militer ini.

Intan Hoesin hanya  tersenyum menjawabnya: “Buku itu sedang saya lengkapi. Sabar ya, Pak Bupati,” ujar Intan Hoesin dengan lembut.

Sayang,  ketika buku mau dicetak konsep buku itu hilang dipinjam mahasiswa sebagai bahan skripsi untuk penyelesaian kuliahnya di Unri, Pekanbaru. Sampai ayah kami meninggal dunia tahun 1987 dan dikebumikan di TPU Seberang Taluk, konsep  buku itu tidak pernah kembali lagi.  

Menurut Rustian yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) Kabupaten Kuantan Singingi mengatakan  kendati konsep buku yang ditulis ayahnya itu hilang tanpa bekas, namun memorinya masih mengingat jelas perjuangan ayahnya.

Hal ini didukung dari  dokumen berupa surat keterangan, ijazah, daftar pertanyaan riwayat hidup, kliping koran yang masih tentang ayahnya yang masih disimpan rapi. Kendati tidak lengkap alias banyak yang hilang, tapi cukup untuk menelusuri perjalanan ayahnya yang ikut mewarnai  rantau Kuantan – kini Kuantan Singingi sejak dulu.

Intan Hoesin punya tiga istri. Istri pertamanya Wahalifa meninggal dunia pada 1952. Kemudian ketika jadi camat Kuantan Mudik ia menikah lagi dengan Dahniar dan Herawaty.

Dari pernikahan dengan tiga istrinya  itu Intan Hoesin punya 11 orang buah hati yakni Nur Affan,  Mawardi, Rosmainur,  Suhaimi,  Supri, Kadri Anam,  Rustian Noer, Herianto, Novita Dewi, Nirwanis, dan  Nivarovita. Tentu sang anak juga sudah memberikan banyak cucu dan cicit untuk kakek yang mereka cintai: Intan Hoesin  Rang Kayo Sutan.

Dimata anaknya Rustian Noer, ayahandanya adalah sosok pekerja keras.“Di mana ayahanda kami bertugas di situ pula ada peninggalannya.  Ayahanda kami dipercaya juga  sebagai“juru damai” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Yakni antara PRRI dan NKRI.  Berkat ayahanda pejuang rantau Kuantan yang tergabung dalam  PRRI kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” kenang Rustian Noer.

Rustian Noer mengatakan, apa yang dilakukan ayahandanya dulu di  Rantau Kuantan kini Kuantan Singingi biarlah menjadi amalnya kelak di kemudian hari. Dan ini sebagai  bukti, sejak dulu ayahanda kami sudah berbuat untuk Kuantan Singingi sebagaimana halnya  Radja Roesli dari Lubuk Jambi,  Mohammad Noer Rauf (Basrah), Raja Usmar  (Telukkuantan).

Termasuk generasi penerusnya sebut saja  Jafri Kacak dari Basrah, Asparaini Rasyad,  Aman Nijas (Sentajo), Rasiman Rauf (Baserah) dan lainnya. 
-----------------

DI mata pejuang pemekaran  Kuantan Singingi yang dulu bergabung dengan Ikatan Pemuda Mahasiswa  Kuantan Singingi  (IPMAKUSI) Pekanbaru, Dedi Arisandi, S.Pi sosok  Intan Hoesin sangan “melegenda” di Kuantan Tengah.  Kendati secara fisik dirinya tidak menegenal  almarhum Intan Hoesin itu.

Menurut Sandi tak akan lekang dalam ingatannya ketia duduk dibangku SD  di Telukkuantan gurunya tahun 1980-an selalu  menceritakan tentang perjuangan Intan Hoesin dengan botolnya membangun kantor camat  Kuantan Tengah.

Bahkan, kata Sandi tiap minggu  gurunya menyuruh siswanya membawa botol ke sekolah. Botol itu  dikumpulkan lalu dijual. Hasil penjualan itu untuk membeli kapur dan alat-alat tulis lainnya. Jadi botol itu sangat bermakna.  

Belakangan kata Sandi siswa yang nakal atau sering bolos dihukum membawa botol sekolah. “Saya pernah jadi korban membawa botol gara-gara bolos ke sekolah.  Mencari botol itu mudah, tapi malunya itu tak ketulungan, Hahaha,” kenang Sandi.

“Dulu ada barang baru ada uang, sekarang ada uang baru ada barang,”  ujar Pak Itam – panggilan akrab  Sandi, mantan aktivis mahasiswa di Riau yang terkenal degil, berkulit hitam, dan berani ini tersenyum.
-----------------

KINI,  Kecamatan Kuantan Tengah makin berkembang dan menjadi ibukota  Kabupaten Kuantan Singingi.  Kecamatan ini mekar jadi dua yakni Benai dan Sentajo Raya pada 2012.

“Tuah sakti hamba negeri esa hilang dua terbilang.  Patah tumbuh hilang berganti takkan melayu hilang di bumi.”

Kebanggaan Ristian Noer terhadap Ayahanda tercinta ibarat puisi “Takkan Melayu Hilang Di Bumi”  karya Dra. Hj. Aisyah:  Langkat, 07 Februari 2021.

Darah Melayu mengalir di tubuhku
Dalam raga dia menyatu
Terlahir Melayu membuatku bangga
Dan jangan coba-coba kalian cerca
Bahwa Melayu lemah adanya
Bahwa Melayu tak punya apa-apa
Bahwa Melayu telah sirna
~
Andai kalian berani merendahkan Melayu
Kami akan bersatu membuktikan padamu
Bahwa Melayu kuat
Bahwa Melayu hebat
Bahwa Melayu bermartabat
~
Coba layangkan pikiranmu pada sejarah
Bacalah tulisan dalam berbagai kisah
Akan kau temui kisah Melayu yang penuh berkah
Yang rela bersimbah darah
Demi mengusir para penjajah
Yang giat berdakwah
Demi mengajak umat ke jalan Allah yang Rahmah
---
Wahai seluruh pemuda Melayu nan bertuah
Mari kita songsong masa depan yang cerah
Mari bersama kita berbenah 
Jangan biarkan Melayu punah
Oleh prilaku yang banyak ulah
~~-
Tuah sakti hamba Negri
Esa hilang dua terbilang
Patah tumbuh hilang berganti
Tak Melayu hilang di Bumi
Empat petuah Hang Tuah yang harus selalu tersimpan di hati
Yang menjadi pemicu diri
Untuk menghidupkan Melayu di seluruh Negri
Agar berjaya hingga akhir nanti..  ***

 

Publishedby : Forum IKKS/IWAKUSI INDONESIA



Tulis Komentar