Politik

Waspada! Pengamat Sebut Pemilu 2024 Dibayangi Politik Transaksional hingga Berita Bohong

Ketiga pasang calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2004 menunjukkan nomor hasil undian pada rapat Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut pasangan Capres dan Cawapres Pemilu 2004 di gedung KPU Jakarta, Selasa (14/11/2023). (F:int-ANews)

JAKARTA (ANews) - Masyarakat diminta waspada dalam menghadapi Pemilu 2024 ini. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut, Pemilu 2024 bakal dihadapkan dengan sejumlah tantangan.

Tak cuma pemilu presiden (pilpres), tapi juga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut Titi, salah satu bayang-bayang persoalan yang kerap ditemui di setiap pemilihan ialah jual beli suara. Padahal, politik transaksional memicu terjadinya korupsi.

“Perilaku pragmatis untuk menang pemilu menggunakan jalan pintas politik transaksional berupa jual beli suara,” kata Titi dikutip dari laman Kompas.com Jum'at (17/11/2023).

“Hal ini akan sangat menciderai proses pemilu serta menjadi pemicu korupsi politik pejabat yang terpilih saat memangku jabatannya,” tuturnya.

Kedua, potensi penyebaran informasi bohong, baik misinformasi, disinformasi, atau fitnah pemilu lainnya. Jika pemilih memilih capres-cawapres atau anggota legislatif karena terpengaruh informasi bohong, kata Titi, suaranya menjadi tidak bermakna dan tak sesuai kehendak bebasnya sebagai pemilih.

Potensi persoalan lainnya, ketidakpahaman terhadap prosedur pemilihan karena kompleksitas pemilu yang sangat rumit. Sebab, pada Pemilu 2024, pemilih akan mencoblos lima surat suara yang terdiri dari pilihan capres-cawapres, anggota DPD, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

“Hal itu bisa berdampak pada tingginya surat suara tidak sah sebagaimana Pemilu 2019 lalu yang mencapai 17,5 juta lebih untuk pemilu DPR,” ucap Titi.

Keempat, potensi masalah pengadaan dan distribusi logistik pemilu seperti surat suara atau kotak suara. Bukan tidak mungkin logistik tertukar, kurang, rusak, atau terlambat tiba di tempat pemungutan suara TPS.

“Hal itu bisa berakibat ketidakpercayaan publik pada KPU serta bahkan bisa memicu kegaduhan di antara pemilih dan peserta pemilu,” kata Titi.

Potensi gangguan lainnya, terkait serangan siber, utamanya yang menyasar sistem teknologi informasi yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Titi menyebut, serangan siber bisa berdampak sangat fatal bagi kredibilitas pemilu dan dapat memicu ketidakpercayaan yang meluas terhadap penyelenggara dan hasil Pemilu 2024.

Oleh karenanya, seluruh pihak, baik pemilih, penyelenggara pemilu, maupun partai politik diingatkan untuk mengawasi jalannya seluruh tahapan Pemilu 2024. Pengawasan bukan hanya dilakukan pada hari pencoblosan, tetapi juga manajemen seluruh tahapan, aktor-aktornya, sampai penegakan hukum.

“Pemilu itu bukan hanya soal mencoblos, tapi juga memastikan seluruh rangkaian prosesnya diselenggarakan dengan benar dan kredibel, sebagaimana aturan main yang demokratis,” tutur Titi.

Adapun pada Pilpres 2024, KPU telah menetapkan tiga pasangan capres-cawapres sebagai peserta yang akan berlaga. (*/ANews)
 



Tulis Komentar