Opini

Catatan Kasus Kekerasan pada Wartawan Tahun 2020 oleh AJI

Konferensi Pers yang diselenggarakan AJI secara virtual melalui Zoom Meeting, Senin (28/12). (Foto:Dok-ViaZoom)

Penulis : Firlia Nouratama

BIDANG Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2020 meningkat tajam dibanding tahun lalu. Jumlahnya mencapai 84 kasus. AJI juga menganalisis dua hal paling krusial berhubungan dengan kerja jurnalis. Di antaranya kebebasan pers dan aspek kesejahteraan.

Kasus kekerasan terhadap wartawan adalah sejumlah tindakan yang dikategorikan sebagai upaya menghalangi-halangi wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian tersebut merujuk pada standar penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan yang dimiliki Dewan Pers.

Abdul Manan selaku Ketua Umum AJI Indonesia menilai, tahun ini menjadi masa kelam bagi jurnalis. Data yang ada mengindikasikan pelonjakan jumlah kekerasan dari tahun lalu. Jumlah tersebut yang paling tertinggi, sepanjang pengamatan AJI.

“Jumlah kasus kekerasan jauh lebih banyak dari pada tahun 2019 yang hanya 53 kasus, ada setidaknya kenaikan sebanyak 31 kasus,” tukas Abdul dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan AJI secara virtual melalui Zoom Meeting pada Senin (28/12).

Sebelumnya, kasus tertinggi ditemui pada 2016 dengan 78 kasus. Setahun kemudian, menjadi 60 kasus. Lalu, naik kembali sebanyak 64 kasus pada 2018.

“Kita berharap bahwa kasus kekerasan seharusnya cenderung menurun bukan malah sebaliknya,” pungkas Abdul.
Ia menambahkan, Jakarta adalah tempat yang paling banyak tindak kekerasannya, yaitu 17 kasus. Disusul Malang dengan 15 kasus dan Surabaya 7 kasus. 

Masih Abdul, aksi demonstrasi menolak Omnibus Law pada 5 Oktober lalu, berkontribusi besar terhadap penambahan kasus kekerasan terhadap wartawan. Alasannya, demonstrasi yang berlangsung cukup masif. 

“Kekerasan mulai dari intimidasi supaya tidak meliput sampai pemukulan dan juga perusakan juga perampasan alat, video, foto serta hasil liputan,” jelasnya.

Lebih jauh, pelaku kekerasan paling sering dilakukan oleh polisi. Sebab, polisilah bertugas mengamankan demonstrasi yang terjadi.
 
“Polisi sebagai pelaku terhadap kekerasan terhadap wartawan, umumnya melakukan intimidasi, penghapusan hasil liputan dan data hasil liputan hingga berbentuk kekerasan fisik,” ucap Abdul.

Ia juga menyayangkan adanya pemidanaan terhadap wartawan. Seperti yang menimpa Diananta P. Sumedi, seorang Jurnalis Banjarhits. Diananta dipidanakan karena menulis berita konflik warga dengan PT Multi Sarana Agro—salah satu perusahaan Jhonlin Group, pada 9 November 2019. Diananta dijerat dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik. Hakim memvonis kurungan tiga bulan dan 15 hari penjara dalam sidang 10 Agustus lalu.

Selain tindak kekerasan, ada pula serangan siber. Jurnalis Detik.com menjadi korban doxing dan ancaman pembunuhan. Bermula dari berita soal rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka pusat perbelanjaan pada 26 Mei lalu. 

Pada media, bentuk serangan digital terjadi di Tempo.co. Portal beritanya mengalami peretasan. Selain itu, ada upaya mematikan server oleh peretas, namun tidak berhasil. Lain lagi dengan Tirto.id, serangan dilakukan dengan menghapus sejumlah berita di server online. Keduanya terjadi pada 21 Agusus 2020.

“Kalau kami mengistilahkan, tahun ini  media mengalami pukulan ganda,” tegas Wawan ABK, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia yang turut hadir dalam kegiatan ini.

Terpantau sejak tiga tahun terakhir, terjadi disrupsi era digital yang luar biasa. Mulai dari penurunan pendapatan iklan dan kegamangan adaptasi teknologi. Ada pula Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga penutupan media. Alasan paling nyata ialah ancaman Covid-19.

“Ancaman virus korona baru ini semakin memperparah dan mempersulit langkah media untuk bergerak,” lanjutnya.

Pekerja media, kata Wawan, memiliki beban dan tanggung jawab. Seperti risiko pekerjaan yang makin berat di tengan pandemi.  Namun, jurnalis harus tetap menjalankan perannya. Apalagi tsunami informasi terkait virus ini sedang marak. Ditambah dengan peredaran hoaks yang makin menjamur.

Dalam membangun literasi tentang hak-hak ketenagakerjaan, ada beberapa hal penting menurut Wawan. Pertama, baca dan cermati aturan perusahaan atau kontrak kerja. Pasal-pasal UU ketenagakerjaan dan Cipta Kerja juga perlu dibaca dan dipelajari. Bangun jejaring antarpekerja media, serta membentuk perkumpulan karyawan. ***(Mahasiswa Universitas Riau, tinggal di Pekanbaru)



Tulis Komentar