Pariwisata

Anugerah Kebudayaan Indonesia Diserahkan kepada Taufik Ikram Jamil

Salah seorang tim penilai Anugerah Kebudayaan Indonesia 2021 kategori pelopor dan pembaru sedang menyematkan Pin Emas kepada Budayawan Taufik Ikram Jamil, Senin (20/12/2021) di Pekanbaru. ( F.Ist/ANews)

Pekanbaru (ANews) - Anugerah Kebudayaan Indonesia 2021 kategori pelopor dan pembaru dari Kemendikbudristek, diserahkan kepada Taufik Ikram Jamil (TIJ) di Pekanbaru, Senin (20/12/2021). Penyerahan tanda anugerah berupa pin, uang pembinaan, piagam, dan plakat itu dilakukan oleh salah seorang tim penilai Dr Mukhlis Paeni, Pamong Budaya Utama Siswanto, Gubernur Riau Syamsuar, dan Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau H.R. Marjohan Yusuf. 

Kepala Dinas Kebudayaan Riau, Raja Yoserizal Zen mengatakan, pihaknya sengaja membuat sedikit acara untuk penyerahan itu. Sebab bagaimanapun, anugerah tersebut merupakan penghargaan yang diberikan kepada Riau yang tidak mudah diperoleh. “Apalagi pada tahun ini, tanda anugerah tidak dijemput oleh si penerima, tetapi dihantar langsung oleh petugas Kemendikristek sebagai pemberi anugerah.” Kata Yose.

Dia mengatakan, sebagian besar pihak yang terlihat dalam acara penyerahan itu adalah orang-orang yang bersentuhan langsung secara kreativitas dengan Taufik Ikram Jamil yang akrab disapa dengan TIJ, Mulai dari pencahayaan, sound, apalagi materi dan pembawa acara. Band Sagu yang diproduseri TIJ misalnya, tampil menyanyikan puisi TIJ serta lagu yang mereka garap bersama TIJ. 

Ada juga musikalilsasi puisi TIJ oleh Matrok, alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang didirikan dan sempat dipimpin TIJ, pemenang musikalisasi puisi nasional 2010. Ditampilkan pula video klip puisi TIJ dari Kesara yang merupakan mahasiswa TIJ di Universits Lancang Kuning. Teater Batra ikut ambil bagian dengan menampilkan cuplikan cerpen TIJ yang baru saja mereka hidangkan dalam Temu Teater Mahasiswa Nasional 2021.

Menurut Yose, sangat ketat persaingan memperoleh Anugerah Kebudayaan Indonesia 2021. Tahun ini, yang diusul dari seluruh Indonesia adalah 600 orang lebih, sedangkan penerimanya adalah 22 orang saja. 

Harapan
Dalam kesempatan itu, TIJ yang didampingi istri, anak-anak, dan menantunya, mengatakan bersyukur kepada Allah SWT. Terima kasihnya juga tertuju kepada kedua orangtua, keluarga, kawan-kawan termasuk mereka yang pernah merasa menjadi mahasiswa. Oleh karena semuanya itulah, anugerah ini bisa wujud, sehingga kepada Kemendikbudristek pula, khususnya Direkrotat Jenderal Kebudayaan, rasa terima kasihnya tidak pula kecil. 

Dia mengaku gembira menerima penghargaan itu tanpa perlu membanding-bandingkan dengan berbagai penghargaan yang sempat saya terima sebelumnya, misalnya dari Badan Bahasa, Dewan Kesenian Jakarta, Majalah Horison, Yayasan Sagang, Dewan Kesenian Riau, Pemrov Riau, PWI Riau, bahkan mingguan Intermezo. “Anugerah tersebut merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup saya, sesuatu yang mungkin juga akan dirasakan serupa oleh orang lain,” katanya. 

Menurutnya, selalu ditanyakan kepadanya, mengapa memilih  kemelayuan sebagai tapak kreatif yang dia jawab bahwa pada awalnya, tidak pernah memikirkan soal itu. Cuma saja, ia hanya ingin jujur mengatakan sesuatu yang pasti dengan sendirinya berbicara berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Sampai kemudian orang mengatakan bahwa karyanya  saya bernuansa Melayu yang kembali diterokanya dengan pendekatan luaran, sehingga makin “suburlah” pengalaman dan pengetahuan tersebut. Dalam penerokaan itu, ia dihadapkan dengan subyek tapak kreativirtas itu sendiri yakni kemelayuan.

Maka jadilah kemelayuan di dalam dirnya sebagai sesuatu yang dialami dan dipelajari.  Hal ini disambut oleh kesadaran kreatif generasi 70-an yang masih menderas pada masa awal kreatif TIJ menapaki jenjang perguruan tinggi bahwa kita bukan pewaris kebudayaan dunia, tetapi mewariskan kebudayaan kepada dunia. Ketika memasuki Pekanbaru, datang dari Telukbelitung melalui Bengkalis, daerah ini pas sedang sibuk menancapkan dirinya kembali sebagai bumi Melayu yang tentu saja menjadi lahan subur bagi sikap mewariskan itu tadi. 

Tidak heran, kalau kemudian ia bergaul dengan sosok-sosok yang juga berada pada jalur serupa semacam Rida K. Liamsi, UU Hamidy, Tabrani Rab, Suwardi MS, khususnya lagi Hasan Junus, Al azhar, Yusmar Yusuf, dan Said Suhil Ahmad. Malahan tanpa ragu dia  mengatakan bahwa Rida K, Liamsi adalah guru di bidang jurnalistik, Hasan Junus guru sastra, dan UU Hamidy pembangkit semangat yang tangguh. 

“Saya juga memiliki seorang kritikus handal yang hampir pasti pembaca atau pendengar pertama karya saya yakni istri saya Umi Kalsum. Dengan latar belakang eksakta, sedangan saya pada tataran humaniora, saya yakin bahwa tanggapannya dapat menyeimbangkan pandangan saya terhadap suatu obyek untuk dibentang di muka umum. Setidak-tidaknya, jika ia dapat menangkap pesan yang hendak saya sampaikan melalui simbol, apatah lagi kalau orang sosial. Bukankah pada hakikatnya, saya menulis untuk dipahami orang, bukan untuk menyulit-nyulitkan suatu hal,” katanya 

Harapannya tentu, kebudayaan Indonesia akan semakin subur yang antara lain bersumber dari khazanah Melayu, sehingga makin besarlah hal ihwal yang diwariskannya kepada dunia dimunculkan. Sebab selama ini saja begitu banyak hal tak terduga yang dapat disbanding dan disandingkan dengan khazanah lain. Misalnya, pada abad 20, Albert Camus menulis bagaimana tikus menyerang Oran dan bangau meruntuhkan istana oleh Garcia Marquez, tapi sastrawan Melayu pada abad ke-18 menulis bagaimana ikan todak menyerang Singapura. 

Pada abad serupa juga, sastrawan Melayu menulis padi menjadi emas yang dapat dipastikan memiliki muatan surealisme sebagai produk Barat. Nyatanya pantun mengilhami sastrawan ternama di belahan dunia sana. Kehadiran Sutardji Calzoum Bachri dengan mantranya, juga sebagai tanda bahwa mewariskan kepada dunia bukan sesuatu yang mengada-ada. 

Semua Genre
Taufik Ikram Jamil, lahir di Telukbelitung, Kab. Kepulauan Meranti, Riau, 19 September 1963, penggiat kebudayaan, akademis dan sastrawan. Kini menjabat sebagai Sekretaris Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Provinsi Riau. Ia telah menulis lebih dari 20 buku baik prosa maupun puisi dan kajian budaya, bahkan buku pelajaran budaya Melayu Riau untuk SD-SMA/ Sederajat. Selain itu, ia juga  terlibat dalam berbagai kegiatan pendidikan dan budaya, misalnya sebagai tim ahli penilaian karya sastra unggulan  untuk siswa SD-SMA sederajat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019. 

Beberapa penghargaan telah diraihnya. Yayasan Sagang menilai bukunya bertajuk Sandiara Hang Tuah sebagai buku terbaik tahun 1997. Sedangkan tahun  1998, cerpennya  yang bertajuk Pagi Jumat Bersama Amuk menjadi cerpen utama Indonesia menurut versi Dewan Kesenian Jakarta, menyusul romannya bertajuk Hempasan Gelombang sebagai salah seorang pemenang dalam sayembara di lembaga serupa. Pusat Bahasa Depdikbud memberikan penghargaan untuk kumcernya Membaca Hang Jebat sebagai karya sastra terbaik tahun 1999. Untuk kumpulan sajak, tersebab aku melayu masuk lima besar dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2010 dan disebut sebagai satu dari tiga kumpulan puisi penting tahun 2010 oleh majalah Tempo. Buku puisi tersebab daku melayu memperoleh predikat buku puisi pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. 

Karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya di bawah judul What’s Left & Other Poems oleh BTW (2015). Buku-bukunya juga sempat menjadi objek kitab khatam kaji sejumlah mahasiswa di Pekanbaru, Yogya, Solo, bahkan di Belanda. Di sisi lain, Taufik juga dikenal sebagai penggiat seni. Setelah berhenti sebagai wartawan Kompas tahun 2002, ia memimpin Dewan Kesenian Riau, 2002-2007, dan mendirikan Akademi Kesenian Melayu Riau sekaligus memimpin dan mengajar di lembaga tersebut, 2002-2012.(**/rls)



Tulis Komentar