Opini

Antara Mimpi dan Kenyataan (Telaah Mimpi-mimpi Tuk Obik)

Oleh : Sahabat Jang Itam dan Tim

ASYIK memang mengikuti diskusi “Pariwisata Inklusive Untuk Menggerakkan Perekonomian Kabupaten Kuantan Singingi: Realitas Yang Ada dan Gagasan ke Depan” yang ditaja Forum Diskusi Keluarga Kuantan Singingi (FDKKS) tadi malam.

Sebagai salah seorang peserta yang tak sempat menyampaikan pemikiran, saya terpaku mendengar mimpi-mimpi indah  Bang Mustari alias Tuk Obik tersebut. Saya terasa mimpi  di siang bolong.  Indahnya mimpi-mimpi yang dibuai oleh Tuk Obik tersebut.

Dalam paparannya saya menangkap Tuk Obik ingin menyederhanakan gagasannya itu kepada peserta diskusi.  Di situlah hebatnya  Tuk Obik memancing peserta diskusi keluar  dengan kisi-kisinya yang ditawarkannya.  Tuk Obik ingin mengajak peserta diskusi berbuat seperti motto Semen Padang: Berbuat ketika orang lain masih memikirkan.

Tapi saya sedikit memberikan catatan terhadap  Tuk Obik tersebut agar kelak tidak salah langkah.  Pembangunan pariwisata itu tak sesederhana seperti mimpi Tuk Obik tersebut. Tuk Obik boleh bemimpi – tapi saya wajib mengingatkan jangan sampai Tuk Obik terlena.

Ada PP dan UU  yang harus diikuti. Ada aturan main berupa juklak dan juknis yang harus ditaati  supaya jangan sampai terjadi ada yang dilanggar yang berimplikasi hukum terhadap pelakunya kelak di kemudian hari.

Kue pembangunan bernama Dana Alokasi  Khusus (DAK) Bidang Pariwisata sebenarnya sudah  mampu menyelesaikan mimpi-mimpi Tuk Obik tersebut.  Asalkan prosedurnya diikuti. Sebab,  menu yang bisa dibangun dalam DAK itu sangat banyak yang bisa dimanfaatkan  oleh setiap daerah. Termasuk untuk Kuantan Singingi.

Di sinilah kreatifitas seorang kepala  OPD untuk menjemput DAK tersebut ke Pusat. Rasanya mustahil  pemerintah ujug-ujug memberikan dana DAK jika daerah tidak mau menjolok sesuai aturan mainnya. Sebab, ini menyangkut uang negara yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Keinginan Tuk Obik untuk menyulap sepanjang tepian Narosa agar indah dan menarik memang bagus tapi hanya untuk sesaat jika tidak mengikuti aturan yang ada. Bagus itu harus untuk selamanya, bukan untuk setahun dua tahun atau…… Lalu setelah itu burubah.

Lalu bagaimana solusinya?

Jika memang Tuk Obik ingin menata kawasan pacu jalur  di sepanjang tepian Narosa setidaknya harus disusun dulu Perda Pariwisata oleh OPD terkait.  Isinya antara lain tentang pengembangan kawasan strategis pariwisata baik kabupaten, provinsi, maupun nasional. 

“Sudah adakah Perda itu di Kuantan Singingi. Entahlah…mudah-mudahan ada supaya pembangunan pariwisata di Kuantan Singingi terintergrasi antara daerah dan Pusat?”

Dan, turunan dari Perda itu bisa berupa Peraturan Bupati (Perbub).  Misalnya Perbub tentang penetapan Destinasi  Pariwisata Unggulan Daerah (DPUD) sepanjang tepian Narosa. Jika  pacu jalur di tepian Narosa sudah masuk dalam kawasan strategis pariwisata provinsi atau nasional ini sebenarnya pintu masuk untuk menjolok dana ke provinsi atau pusat.

Untuk penyusunan Perda atau Perbub itu bukanlah tugas Tuk Obik. Tuk Obik dengan pengalamannya  sudah memberikan kisi-kisi dan memancing OPD terkait untuk kreatif menyusunnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat. Tuk Obik ingin menyampaikan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi. “Please…, please……please…..!” ujar Tuk Obik.

Terkait dana pribadi dan CSR  perusahaan yang bisa digunakan untuk mempercantik bangunan sepanjang tepian Narosa sebagaimana disampaikan Tuk Obik tersebut biarlah nanti digunakan untuk memoles  pembangunan fisik jika dana DAK bisa dijolok dari pusat.  Sebab, dana CSR itu jumlahnya sangat kecil, apalagi kata Tuk Obik sebagian “jatah” CSR sudah diambil duluan oleh oknum pejabat dan preman di kampung kita. 

“Entah iya atau tidak. Kita anggap saja iya. Karena kenyataan yang kita dengar dan lihat memang seperti itu kan Tuk Obik. Malas nak cakap, nanti ada pula yang tersinggung?”

Lalu terkait dengan realisasi PAD sektor pariwisata saya dengar sangat kecil. Pada tahun 2019 seperti yang disampaikan Kabid Destinasi Dinas Pariwisata Kuantan Singingi, Nasjuneri hanya Rp35 juta setahun. Lalu pada tahun 2022 meningkat jadi Rp142 juta dari target Rp 3 miliar.

“Alamak kecilnya….,” 

Ternyata penghasilan Kelompok Sadar Wisata  (Pok Darwis) Kelurahan Penyengat lebih banyak dari PAD sektor pariwisata Kuantan Singingi pada tahun 2019 tersebut.   Penghasilan “kotor” kelompok sadar wisata tersebut lima tahun belakangan ini antara 75 s.d 100 juta dalam setahun.  

“Dari mana penghasilan sebanyak itu mereka peroleh?” 

Inilah kreatifitas mereka. Otak mereka jalan.    Mereka  mengelola delapan paket wisata yang bisa dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung ke pulau kecil tersebut.   

Sebut saja. Tour of the mosque, tour history culture,  gurindam ekperien, traditional dance ekperien, class cooking, dan culture perfomence (silahkan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ya….!).

Jika wisatawan ke Penyengat dan mengikuti seluruh paket wisata yang dtawarkan Pokdarwis tersebut mereka harus bayar Rp 250 ribu orang untuk ikut delapan paket tersebut. Jika sebulan ada 200 wisatawan yang membeli paket tersebut kalikan saja berapa jumlah “duit sojuak” yang masuk ke kas mereka. 

Untuk menyelesaikan delapan paket wisata tersebut wisatawan harus tiga hari bermukim di Penyengat. Pokdarwisnya untung,  masyarakatnya juga dapat keuntungan dari situ.

Pokdarwis Penyengat bukan ujug-ujug bisa meraih keuntungan seperti itu.  Ada DAK Non Fisik  untuk peningkatan SDM pariwisata yang bisa dijemput oleh daerah oleh OPD terkait.  “Jemputlah…!”

Saya melihat ternyata Dinas Pariwisata Kuantan Singingi c.q Bidang Destinasi tak punya konsep dalam pengembangan Pok Darwis di Kuantan Singingi. Ada banyak menu pelatihan DAK Non Fisik untuk peningkatan SDM  pelaku pariwisata dari Kemenparekraf setiap tahunnya.  Jemput dong....jangan tunggu hujan turun  dari langit!

Daya melihat tiga kabid dinas pariwisata yang tampil dalam diskusi tersebut kelihstan hanya curhat. Seharusnya Najuneri (Destinasi) , Afri Elpira (Pemasaran & Ekraf), dan Maulina Reza (Seni dan Budaya) mampu menjelaskan program strategis Dinas Pariwisata Kuantan Singingi, bukan curhat seperti diskusi tadi malam.

Atau jangan-jangan belum punya program strategis. Entahlah.... peserta diskusi bisa melihatnya.  

_______

Terlepas dari apapun hasil diskusi tadi malam hasil akhirnya adalah “pertengkaran” Tuk Obik VS  Azwirman berakhir dengan skor 3-0.   Azwirman sudah mengangkat bendera putih tanda menyerah dengan kisi-kisi yang jawabannya mulai dibuka sedikit oleh Tuk Obik.

Sementara Kang Wariso dari Batam yang katanya siap tempur malam itu, ternyata tak keluar dari persembunyiannya.  

Kenapa Kang?  Hanya Kang Wariso yang tahu jawabannya.  Dugaan saya bisa jadi moderator tak memberikan kesempatan kepadanya untuk memberikan masukan atau peserta lain memberikan masukan yang panjang tapi tak “berisi” dan mengena kepada sasaran.

Kedepan, di sinilah kepiawaian moderator “membagi”kue dan mengatur lalu lintas pertanyaan itu diuji. Peserta itu masuk dalam forum diskusi itu karena ingin memberikan masukan, sumbang saran dan pemikiran, bukan untuk mendengar.  

“Kalau peserta diundang hanya untuk mendengar, lebih baik bobok saja di rumah,”  ujar Kang Wariso.

Saya sepakat dengan Kang Wariso. Kedepan, eloknya masing-masing peserta diberikan kesempatan untuk memberikan masukan walau singkat, padat tapi tepat sasaran dan berisi. Daripada kebanyakan cakap yang berujung  ngawur.

“Kang, kang……sudahlah Kang. Ingat Kang,  menyuruh memberhentikan orang bicara di forum diskusi itu lebih susah daripada mengkavling laut di Kepri seperti yang Akang lakukan sekarang ini.”

Tapi itu harus dimulai Kang. Kita harus belajar sama  Karni Ilyas bagaimana dia mengatur lalu lintas diskusi tampaknya Kang. Yang dia undang diberikan kesempatan bicara walau porsinya beda  

Ahahaha……………

Lalu kalau moderator memberikan kesempatan kepada Kang Wariso tadi malam apa comen yang akan disampaikan, Kang?

"Diskusi tadi malam lupa mengupas soal pelaku pariwisata itu sendiri yaitu MASYARAKAT. Sebab wisata inklusif itu subjectnya adalah  masyarakat...'

"Maksudnya, Kang!"

Apakah masyarakat kita siap?

1. Siap merubah perilaku

2. Welcome terhadap pengunjung

3. Bersih dan ramah

4. Standby dan konsisten

5. Egaliter dan tak usil

6. Jujur dan menjaga kenyamanan

7. Tidak pungli dan tidak menanduk wisatawan.

8. Dst.....dst.....

Mantap ya Kang? "Kang Wariso ini memang spesialis tukang coment dan tukang pariso yang tadi malam tadi tidak diberikan kesempatan coment.

Lanjut Kang....tariiiiiik habis...hahaha...

Lalu apa komentar Bang Epi Martison....?

La mode itu rinci dan tuntas dek Prof Asdi dak juo nyambung dek org2 yangg tak paham tu do.. Itu makonyo ambo buek istilah sudah mendunia tapi kalian tidak kemana mana. Katanya kalian sudah kreatif tapi tidak inovatif.'

Kenapa itu bisa terjadi Bang? karena mereka tidak yakin dan tidak  paham dengan keunikan,  kekhasan, dan kekuatan yang ada pada batang tubuh kearifan-kearifan kebudayaan  leluhurnya.

Oh...   

Saya menyebut  tadi malam dari  kaca mata kontemporer.

"Maksudnya apa ni bang, saya kok malah bingung. Seriuslah, Bang..."

"Katanya sudah mendunia tapi tidak kemana mana. Katanya sudah kreatif tapi tidak inovatif. Kita tidak percaya dengan kekuatan, kelebihan keunikan, kekhasan, dan kearifan-kearifan adat adat Kebudayaan leluhur kita itu. Semua kita seperti dicambuk dan bernafsu untuk berlari kencang  melaju ke suatu yang jauh di depan  tapi kita tidak sadar di depan itu juga  tidak bisa  menjamin suatu kesuksesan yg hakiki seperti yang kita harapkan. Di depan itu masih fatamorgana..

"Oh...marah ni  ceritanya, Bang. Jangan gitulah nanti Bang Azwir merajuk, Bang?"

Kuuriikiii....oh....kuuriikiiiii...

 

Publikasi : Forum IKKS IWAKUSI INDONESIA



Tulis Komentar