Opini

Ruang Terbuka Hijau sebagai Salah Satu Alternatif dalam Meredam Emisi Carbondioksida dari Aktivitas Transportasi di Perkotaan

Oleh : Muhammad Reza, ST. MSc

PERKEMBANGAN sistem transportasi, wilayah pemukiman penduduk, perkantoran maupun industri terus meningkat dengan pesat.. Perkembangan yang meningkat ini tentunya dikhawatirkan akan berdampak pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan apabila tidak ada upaya pengelolaan lingkungan yang baik. Selain itu kegiatan transportasi merupakan sektor kegiatan yang selama ini turut memberikan kontribusi terhadap terjadinya pemanasan global yaitu melalui hasil dari proses pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk kegiatan transportasi. Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sumber energi tidak terlepas dari senyawa seperti karbon dioksida (CO2) (Eldewisa, 2008 dikutip dalam Maulana, 2016). Transportasi mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum. Di masa depan potensi dan peran sistem tranportasi nasional harus terus dikembangkan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun dibalik sebagai penunjang pembangunan transportasi dapat berdampak buruk terhadap lingkungan. Dikarenakan transportasi menghasilkan emisi, dimana transportasi menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Konsumsi energi inilah yang memberikan kontribusi sebesar 75% terhadap emisi karbon dioksida (CO2) antropogenik dunia (Edyanto. 2013). 

Transportasi perkotaan merupakan kegiatan yang berpotensial mempengaruhi perubahan kualitas udara perkotaan dibandingkan dengan sektor lainnya (Jalaluddin, 2013). Kendaraan yang menjadi alat transportasi dalam konteks pencemaran udara dikelompokkan sebagai sumber pencemaran yang bergerak.

Emisi CO2 yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Kejadian yang telah terasa saat ini adalah bergesernya siklus musim dan meningkatnya panas bumi (Kurdi, 2008) Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak dari terjadinya pemanasan global yaitu melalui penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tanaman sebagai komponen utama pengisi RTH memiliki kemampuan dalam menyerap emisi CO2 sehingga mampu mengurangi konsentrasi CO2 di alam. Tanaman pada RTH juga mampu menghasilkan gas oksigen (O2) yang penting untuk mendukung proses metabolisme makhluk hidup (Setiawan dan Hermana, 2013). 

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan bagian dari mitigasi pemanasan global sehingga dipandang sebagai salah satu upaya penanganan terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca yang paling implementatif dibandingkan cara lainnya (Rawung, 2015). RTH juga mempunyai tujuan dan manfaat yang besar bagi keseimbangan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas lingkungan itu sendiri. Keseimbangan RTH dengan penyerapan emisi CO2 harus tetap terjaga agar kualitas udara menjadi lebih baik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada dasarnya perencanaan RTH disusun sebagai upaya untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kegiatan pembangunan kota, sebagai upaya menjaga keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara ruang terbangun dengan RTH. Upaya ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, khususnya Pasal 14, Ayat 4 tentang Bangunan Gedung.

Tanaman memiliki kemampuan untuk berfotosintesis, proses fotosintesis tumbuhan memerlukan gas CO2 sebagai bahan bakunya dan hasil fotosintesis tersebut berupa oksigen dan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tumbuhan dan makhluk hidup yang lain. Kemampuan tanaman dalam menyerap karbon dioksida membutuhkan stomata yang memungkinkan masuknya CO2 (Pradiptyas, 2011). Kemampuan tanaman sebagai penyerap karbondioksida akan berbeda-beda. Banyak faktor yang mempengaruhi daya serap karbon dioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil. Mutu klorofil ditentukan berdasarkan banyak sedikitnya magnesium yang menjadi inti klorofil. Semakin besar tingkat magnesium, daun akan berwarna hijau gelap. Berdasarkan penelitian Endes N. Dahlan memberikan hasil bahwa trembesi (Samanea saman) terbukti menyerap paling banyak karbon dioksida. Dalam setahun, trembesi mampu menyerap 28. 488,39 kg karbon dioksida.

Penataan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan yang memiliki kesibukan transportasi yang semakin meningkat , sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas udara. Ruang Terbuka Hijau yang mencukupi dan terjaga kelangsungannya akan meningkatkan daya serap tumbuhan terhadap emisi karbondiksida akibat aktivitas transportasi di perkotaan. ***

Penulis adalah dosen di Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Riau.



Tulis Komentar