Opini

Sudah Saatnya Rakyat Melayu Marah, Rempang Hanya Salah Satu Bentuk Ketidakadilan Pemerintah

Ilustrasi bentrok aparat dan warga Rempang beberapa waktu lalu. Ft.Kpc/net

Oleh: T Nala Puruhita

MEMANG sudah saatnya Rakyat Melayu marah. Rempang hanya salah satu bentuk ketidakadilan Pemerintah terhadap rakyat yang muncul di saat rakyat sudah tidak lagi percaya terhadap janji Pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.

Situasi dan kondisi seperti yang terjadi di Rempang, yang jelas-jelas sudah berlangsung sejak lama, adalah pemberian tanah hutan milik Rakyat Melayu kepada korporasi untuk perkebunan sawit.

Atas tanah yang diberikan itu, rakyat hanya kebagian 20% saja melalui skema plasma. Itu pun Pemerintah sudah salah kebijakan.

 Seharusnya menteri yang melepaskan hutan (baca: Menteri Kehutanan/ LHK) untuk korporasi sadar bahwa atas hutan yang dilepaskannya itu 20%-nya dia lepaskan juga untuk rakyat. Yang terjadi adalah menteri tersebut "lepas tangan", menyerahkan seluruhnya kepada korporasi sambil berharap korporasi akan memberikan 20%-nya untuk rakyat.

 Kebijakan dungu: rakyat harus mengemis kepada korporasi untuk 20% tanah milik mereka sebelumnya yang sudah diberikan Pemerintah untuk korporasi.

Contoh konkret yang masih aktual adalah nasib 1,6 juta hektar yang dilepaskan Zulhas (Zulkifli Hasan ketika menjabat Menteri Kehutanan) di Tanah Melayu (Provinsi Riau) saat itu, seharusnya rakyat punya  320.000 ha kebun untuk dikelola. 

Bahkan sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah, yang sudah mengambil 80% tanah rakyat, memberikan kompensasi supaya rakyat bisa tetap hidup dari sisa tanah 20% tersebut berupa subsidi (bibit, pupuk, pestisida dan biaya lain untuk pertanian). Adakah Pemerintah telah menunaikannya? Tentu tidak.

Menteri LHK (baca: Siti Nurbaya) pun melanjutkan kebijakan yang sama. Entah berapa luas hutan milik Rakyat Melayu yang sudah dilepaskan secara sembunyi-sembunyi untuk korporasi. Tidak pernah ada keterbukaan Pemerintah atas hutan yang oleh rakyat diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah.

Adalah tanggung jawab Pemerintah (apapun partainya) untuk mensejahterakan rakyat dari tanah air milik negara, termasuk hutan. Berkaca dari kondisi hari ini, rakyat belum sejahtera atas tanahnya. Rakyat hanya jadi buruh. Padahal sebagai negara agraris, bertani dan berkebun bukan hal baru untuk rakyat. Pemerintah yang tidak arif lah yang membuat rakyat tidak berdaulat atas tanahnya. Sudah saatnya kita menuntut kearifan pemerintah, jangan lagi rakyat yang diminta kearifannya.

Bagaimana pun juga Pasal 33 UUD 1945 belum berubah. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tentu rakyat dimaksud masih Rakyat Indonesia, bukan rakyat Cina. (T Nala Puruhita, Praktisi Kehutanan tinggal di Bogor)



Tulis Komentar