Opini

Covid-19 di Indonesia Picu Permasalahan Hubungan Industrial yang Kompleks

Mayandri Suzarman, SH.MH, Putra Asli Lubuk Jambi, Kuantan Singingi, kini Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Bengkulu Kelas IA . (Ft.Dokpribadi)

Oleh: Mayandri Suzarman, SH.MH
*Anak Lubuk Jambi Asli (ALJA),  kini Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Bengkulu Kelas IA

INDONESIA mengkonfirmasi kasus covid-19 untuk pertama kalinya pada awal Maret 2020. Semenjak itu, berbagai upaya penanggulangan terus dilakukan oleh pemerintah untuk meredam dampak dari pandemi Covid-19 di berbagai sektor.

Hampir semua sektor kehidupan terdampak, tidak hanya sektor kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak yang serius akibat pandemi virus coronaini. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada roda perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, sehingga dikawatirkan akan menumbuhkan peningkatan angka kemiskinan. Setidaknya bencana covid -19 ini berakibat krisis ekonomi dengan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran, Para pelaku usaha banyak melakukan efisiensi untuk menekan kerugian, sehingga akibatnya banyak pekerja yang dirumahkan atau bahkan di PHK. 

Bencana Covid-19 ini juga memicu permasalahan di bidang hubungan industrial yang kompleks. Menurut pengamatan penulis ada beberapa permasalahan yang akan ataupun telah muncul :

1. Timbulnya Potensi Konflik akibat Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)

Penerapan kebijakan pemerintah berupa PSBB dan PPKM mengakibatkan sebagian perusahaan tidak boleh beroperasi, ataupun beroperasi tetapi dengan jam operasional yang terbatas. 

Hal ini tentu saja berakibat ada perusahaan yang demi keberlangsungan usaha memutuskan untuk merumahkan pekerja/buruh atau memerintahkan pekerja/buruh untuk bekerja dari rumah (WFH). Work From Home ini berarti pekerja/buruh tetap bekerja, tetapi tidak hadir ke tempat kerja, baik kekantor atau lokasi kerja seperti biasa. 

Dasar hukum pelaksanaan WFH ini dapat kita lihat didalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memang tidak mengatur mengenai pengertian secara teknis apabila perusahaan melakukan work from home terhadap pekerja/buruh sebagaimana kondisi saat ini. 

Tetapi apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa :

Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan; dan
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Muncul persoalan baru dengan diterapkannya WFH oleh pengusaha yakni mengenai pembayaran upah. Apakah pekerja/buruh yang melakukan WFH tetap mendapatkan upah?, mengingat pekerja/buruh tersebut tidak datang ke kantor atau lokasi kerja.

Penulis menyarankan agar selama WFH, upah harus tetap dibayar penuh. Jika perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar upah kepada pekerja selama PSBB atau PPKM, maka dipersilakan perusahaan untuk menggunakan pedoman dalam Surat Edaran Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. 

Jika ada penyesuaian besaran upah yang akan diterima oleh pekerja sebagai dampak dari PPKM, maka harus didasari dengan bukti tertulis kesepakatan dari hasil dialog bipartit antara pekerja dan peusahaan. 

2. Timbulnya Potensi konflik Perselisihan Mengenai Kekurangan Pembayaran Upah

Seperti yang telah diuraikan diatas, jika perusahan mengalami kesulitan membayar upah selama penerapan PSBB atau PPKM maka dapat melakukan kesepakatan tertulis dengan pekerja. Namun bagaimana setelah krisis berakhir? Apakah pekerja/buruh dapat menuntut kekurangan pembayaran upah tersebut?. 

Hal ini tentu perlu diantisipasi oleh pengusaha agar jangan ada peluang untuk itu. Karena pekerja melalui serikat pekerja bukan tidak mungkin akan menuntut hal tersebut. Oleh karena itu, menurut penulis, akan lebih bijak di dalam menyusun kesepakatan mengenai besaran upah selama pandemic covid-19 harus diatur klausul hal tersebut, sehingga tidak akan terjadi potensi tuntutan oleh salah satu pihak di kemudian hari.

3. Timbulnya potensi konflik penerapan asas Pekerja/buruh yang tidak bekerja, maka upahnya tidak dibayar (No Work No pay)

Dengan terbatasnya kegiatan perusahaan akibat kebijakan PSBB atau PPKM sehingga mengakibatkan pekerja/buruh di rumahkan untuk sementara waktu. Maka dengan tidak bekerjanya pekerja/buruh dapatkah diterapkan asas No Work No Pay?

No work No pay ini berarti pekerja/buruh tidak dibayar jika tidak melakukan pekerjaan. Asas no work no pay sebagaimana diatur Pasal 93 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, kecuali bagi pekerja yang sakit. 

Bahwa perusahaan tidak dapat sembarangan menerapkan hal tersebut kepada pekerjanya. Perusahaan hanya dapat menerapkan asas No Work No Pay jika pekerjanya tidak melakukan pekerjaan karena kelalaiannya. Jika pekerja terkena dampak dari COVID-19 perusahaan tidak dapat menerapkan No Work No Pay. 
Perusahaan yang menerapkan No Work No Pay harus berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan perusahan. Hal itu dilakukan untuk menghindari terjadi perselisihan hubungan industrial antara perusahaan dengan pekerja/buruh. 

Untuk melindungi pekerja dan perusahan Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. 

Berdasarkan surat edaran tersebut pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya karena telah dikategorikan Orang Dalam Pemantauan (ODP) akibat COVID-19, maka perusahan tidak dapat menerapkan No Work No Pay. Selain itu pekerja yang dikategorikan sakit atau suspek COVID-19 dan dikarantina berdasarkan keterangan dokter, maka perusahaan wajib membayar penuh upah pekerjanya. 

4. Timbulnya potensi konflik terhadap Pemutusan Hubungan Kerja 

Pasal 81 ayat (37) UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan Pengusaha, Pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Namun, dengan kondisi pandemic covid-19 di tambah lagi pemberlakuan kebijakan  PSBB atau PPKM, tidak ada jalan lain bagi sebagian perusahaan untuk melakukan PHK kepada pekerja/buruh demi keberlangsungan operasional perusahaan.
Kebijakan ini diambil tentu harus berdasarkan alasan-alasan yang tepat dan benar benar dikarenakan pandemic covid-19, bukan akal-akalan perusahaan untuk mem PHK karyawan. Karena dalam prakteknya tidak menutup kemungkinan ada perusahaan yang nakal menggunakan alasan covid-19 sebagai alasan mem PHK pekerja/buruhnya.

Lantas, apakah alasan  bagi pengusaha untuk mem PHK karyawan dalam situasi pandemic covid-19?. Perusahaan dapat menggunakan ketentuan Pasal 81 ayat (42) UU Cipta Kerja  yang menambah ketentuan Pasal 154A UU Ketenagakerjaan :
Pasal 154A ayat (1) huruf b :

Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan perusahaan melakukan efisisensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian

Sebagai konsekwensi dari terjadinya PHK akibat covid-19, pengusaha diwajibkan untuk membayar pesangon kepada pekerja/buruh yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. ***



Tulis Komentar