Opini

Penyebab Utama Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kuansing (Bagian Ketiga)

Pada bagian pertama dan kedua telah diuraikan penyebab utama PETI di Kuansing  (Amanah News, 07 Desember dan 14 Desember 20200, yaitu; faktor hilangnya mata pencaharian utama masyarakat dan lemahnya penegakan hukum. 
Pad bagian ketiga ini, akan diuraikan penyebab utama berikutnya, yaitu; rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat. Masyarakat dalam pengertian ini adalah seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang berdomisili di Kabupaten Kuantan Singingi, mulai dari pejabat pemerintah, anggota parlemen, pengusaha, cerdik pandai, ninik mamak, tokoh masyarakat, hingga masyarakat awam lainnya.
Tentu, rendahnya kesadaran masyrakat ini bervariasi tingkat dan kadarnya, bergantung kapasitas dan kompetensi dari individu yang bersangkutan. Walaupun secara teori, individu yang sudah tercerahkan secara intelektual, taraf sosial-ekonomi yang sudah mapan dan ditambah lagi dengan kedewasaan dari segi umur akan memiliki kesadaran lingkungan yang semakin tinggi. 
Namun dalam kenyatannya sungguh ironi, kesadaran masyarakat kita dalam menjaga kelestarian lingkungan masih sangat rendah. Bahkan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan dalam  menjaga kelestarian sumberdaya alam (SDA) dan lingkugan justru sebagai biang dan dalang kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan. Bahlan tak jarang, mereka sebagai pelopor dan inisiator  kerusakan dan degradasi lingkungan. Lain yang diucapkan, lain yang dilaksanakan. Lain teori, lain amalannya. Termasuk di dalam aktivitas  PETI di Kuansing. Dalam konteks ini, bukan mereka tak faham tentang konsep dan keperluan pelestarian lingkungan. Ditambah lagi dengan jabatan, pangkat dan gelar yang disandangnya. Namun tindak tanduk dan perilakunya justru memunggungi semua itu. Mereka justru aktor dan dalang degradasi SDA dan pencemaran lingkungan. 
Dapat dibaca di medi masa dan berita di televisi, oknum pejabat dan politisi yang terlibat  di dalam kasus degradasi SDA  dan  pencemaran lingkugan, -melalui berbagai kebijakan  yang tidak bijak -seumpama alih-fungsi lahan, peraturan dan undang-undang yang berpotensi merusak dan memusnahkan SDA dan mencemarkan lingkungan. Dimana, sebagian di antara mereka sudah ada yang dijatuhi hukuman denda dan bahkan ada yang sudah dihukum penjara akibat perbuatannya.
Para pengusaha begitu juga, ada yang secara terang-terangan merusak  dan mencemarkan SDA dan lingkugan. Hutan dihabisi. Ikan dan sumberdaya perairan dieskploitasi dengan cara-cara yang tidak ramah lingkugan. Barang tambang dan mineral disikat habis  tanpa memeperdulikan keberlanjutannya di masa yang akan datang. Yang kemudian menyisakan luka bumi dan pencemaran lingkungan. Di samping  derita sosial-budaya bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. 
Begitu juga kesadaran lingkungan para penegak hukum yang masih rendah. Masih dijumpai oknum penegak hukum yang terlibat dalam jaringan mafia  degradasi SDA dan pencemaran lingkungan, termasuk  dalam jaringan mafia  PETI di Kuansing..
Bahkan terkadang, masyarakat awam menjadi kaget, tercengang dan seperti tak percaya, dimana individu yang sepantasnya menjadi teladan di dalam pelestarian lingkungan, justru di belakang layar mengobok obok sumberdaya alam dan lingkungan. Bahkan ada yang sampai ke meja hukum, diadili, didenda dan bahkan ada yang sampai masuk hotel prodeo.
Keadaan yang kontradiktif,  secara gamblang dan kasat mata dipertontonkan di depan khalayak ramai  dalam aktivitas PETI di Kuansing, dimana sampai hari ini juga tidak kunjung padam dan mereda. Bahkan konon kabarnya bertambah banyak dan beranak pinak. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa kesadaran lingkungan individu dari kalangan menengah atas yang diwakili oleh oknum pejabat, elit politik, aparat keamanan, aparat desa, tokoh masyarakat, dan pengusaha masih mengkhawatirkan.  
Tindakan dari segelintir oknum kalangan menengah ke atas atau golongan berpunya (the have) ini mencoreng wibawa, harkat dan martabat kalangan tersebut, dimata masyarakat awam. Dan malangnya lagi, keadaan ini seolah menjadi justifikasi bagi masyarakat awam untuk turut serta berbondong-bondong merusak dan mencemarkan lingkungan. Yang kemudian akan mewujudkan apa yang disebut sebagai tragedi kepemilikan  bersama (The Tragedy of Commons), yang telah diperingatkan oleh Gareet Hardin (1968). Seperti tragedi pencemaran sungai, pendangkalan sungai akibat aktivtas PETI, penggundulan hutan,  yang dirasakan dampaknya secara berjemaah oleh masyarakat Kuansing.
Kurangnya kesadaran ini juga berkelindan dengan masih rendahnya pemahaman budaya dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Dalam konteks ini mereka baru sekedar tahu dan mungkin sedikit faham atau sudah sangat faham. Namun, mereka kurang sadar atau tidak sadar. Atau dalam bahasa lainnya, mereka tidak memiliki etika lingkungan (environmental ethics). 
Dalam konteks pelestarian SDA dan  lingkungan, kelompok ini yang sangat berbahaya dan mencemaskan. Mengapa? Karena mereka pada hakikatnya tahu dan faham tentang perlunya menjaga dan melestarikan SDA dan lingkugnan. Bahkan mereka mungkin yang membuat dan merumuskan undang-undang dan peraturan tentang sumberdaya alam dan lingkungan. Bahkan bisa jadi, mereka juga yang mengajarkan dan memberikan penyuluhan, advokasi dan pelatihan  tentang pelestarian dan konservasi SDA dan lingkungan. Namun, di balik layar mereka berselingkuh dan membelot. Mereka berubah haluan dan mengubah  wajah dan bermatamarfosis menjadi mafia  PETI dalam konteks di Kuansing. Mereka melancarkan aksi dari belakang layar secara terorganisir, rapi dan sistematis dengan dukungan jabatan, wewenang, kuasa dan uang. Mereka licin seperti belut. Lincah dan gesit dalam bertindak. Jarang tereskpos, pandai bersandiwara dan pintar mencari panggung pencitraan. 
Dari kalangan masyarakat awam, kesadaran lingkungan juga masih rendah. Namun, hal ini lebih disebabkan karena faktor kebodohan dan kemiskinan. Dan jika, kedua faktor ini dapat diatasi maka mereka akan menjadi orang yang sadar dan peduli akan lingkungan. Penanganan kelompok ini (masyarkaat awam) relatif lebih mudah berbanding kelompok para mafia PETI. 
Dalam banyak hasil penelitian di negara-negara berkembang, menunjukkan bahwa rendahnya kesadaran lingkungan dari masyarakat awam lebih banyak dipicu oleh desakan kebutuhan ekonomi jangka pendek, alias urusan sembako, urusan kampung tengah (makan) dan kebutuhan dasar kehidupan manusia.
Bagi kelompok ini, urusan menjaga dan melestarikan SDA dan  lingkungan adalah prioritas yang ke lima atau keenam, atau bahkan tidak ada dalam fikiran mereka. Karena mereka sudah disibukkan dengan urusan pemenuhan kebutuhan pokok makan, minum, pakaian dan tempat tinggal untuk  anak, istri dan keluarga. Ditambah lagi beban untuk biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal. 
Faktor kemiskinan juga sangat berkaitan dengan rendahnya sumberdaya manusia (kebodohan). Dua hal yang saling berkaitan dan berkelindan, miskin dan bodoh, atau bodoh dan miskin. 
Untuk mengatasinya, tentu perlu disediakan kemudahan pembelajaran kepada kelompok ini, baik melalui pendidikan formal di bangku sekolah (sekolah dasar hingga sekolah menengah), maupun melalui pendidikan informal, berupa; penyuluhan, advokasi, dan pelatihan. Bisa juga dengan semakin menggalakkan pembangunan perpustakaan di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten/kota utnuk seluruh kalangan masyarakat,  mulai dari anak-anak, remaja hingga lansia.  
Selain itu, juga dengan solusi yang sudah bersifat klasik dan membosankan untuk dituliskan, yaitu pemgwujudan lapangan pekerjaan yang memadai dan berkualitas. Sehingga mereka dapat bekerja,  kemudian mendapatkan gaji dan upah yang setimpal yang akan dapat untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan mereka. Jika kebutuhan pokok terpenuhi, mereka tidak akan tergoda bahkan tidak mau lagi bekerja pada sektor atau bidang yang justru penuh risiko seperti aktivitas PETI, dan apalagi menimbulkan degradasi SDA dan pencemaran lingkungan, seperti; pendangkalan sungai, pencemaran air, merusak dan memusnahkan habitat hidup biota air, penyakit yang ditimbulkan dari sisa merkuri, dan sederet dampak negatif sosial-budaya dan lingkugan  yang menyertainya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 
Kita semua berharap, dalam menyongsong tahun baru  2021 yang tinggal beberapa hari lagi, kiranya juga dapat diiringi dengan kesadaran lingkungan yang semakin membaik di seluruh lapisan masyarakat. Begitu juga harapan,  semoga aktivitas PETI Kuansing semakin menghilang dan menjauh, seirama dengan terbitnya mentari pagi di tahun baru 2021. Aamiin.

Dr. Apriyan D. Rakhmat, M.Env
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Pengurus Bidang Sosial dan Agama IKKS Pekanbaru

 
 



Tulis Komentar