Fekah Tepak
Oleh: Syaukani Al Karim
TEPAK dalam konsepsi adat Melayu, bukanlah alat untuk meminang, melainkan simbol adat yang digunakan untuk memulai kata-kata dan berunding, apapun yang hendak dirundingkan. Orang Melayu memang menggunakan simbol-simbol dalam menjelaskan dirinya, dan tepak dipilih sebagai simbol dari niat diri. Datang bertepak menandakan bahwa kita hendak berunding dengan cara yang baik, santun, dan ikhlas, sementara kalau datang berkeris dengan hulu siap dipegang, menyimbolkan kita hendak datang bergelanggang. Tuan rumah, dalam konsepsi adat ini, dengan melihat saja apa yang dibawa, sudah dapat menduga maksud baik atau buruk dari yang datang, dari perangkat yang dibawanya.
Sebagai alat pembuka kata dan penunjuk kehalusan budi, maka isi tepak hanya menggambarkan suasana hati pihak yang datang. Sirih, pinang, kapur, gambir, tembakau, dan kacip, mencerminkan kesiapan jasmani dan rohani, menjelaskan putih dan ikhlasnya hati orang yang datang, dan kacip pula menyimbolkan kesiapan untuk meracik dinamika perundingan menjadi sebuah kata mufakat. Setelah simbol ketulusan hati diketengahkan, barulah runding dimulai, dan tepak tinggal menjadi penghias. Hajat meminang tidak berada dalam tepak, tapi berada dalam akad yang disampaikan.
Maslahat mudarat adat, mereka tak sekolah tapi tahu mana yang indah, mereka tak pernah mengultuskan sesuatu tanpa ilmu, mereka dapat memosisikan diri mereka sebagai tetua yang berakal, bukan tetua yang ungkal.
Bukan sekali dua pula, para tetua Melayu berijtihad dalam soal adat ini. Ketika orang Melayu menganut kepercayaan “Kapitayan” yang oleh ilmuan Belanda diterjemahkan dengan Animisme, Dinamisme, dan Polytheisme, para Tetua Melayu berijtihad menjadikan kepercayaan sezaman sebagai Adat Sebenar Adat, menjadikan Kapitayan sebagai “Sendi Syarak” dalam setiap perbuatan adat, begitu juga ketika anutan beralih, dan orang Melayu mememuk agama Hindu dan Budha, maka para tetua Melayu menjadikan nilai nilai transendental Hindu/Budha, sebagai sendi adat.
Setelah masuknya agama Islam ke tanah Melayu, setelah raja/sultan dan bangsa Melayu memeluk agama Islam, maka sekali lagi para Tetua Melayu yang cerdas dan arif itu, membuat ijtihad adat baru, dengan mengeluarkan taklimat adat yang bersesuaian dengan Islam, yang berbunyi “adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Tidak hanya itu, para tetua Melayu dan orang-orang pandai masa lampau, bahkan mengganti huruf-huruf yang dipakai, seperti “kaganga” dan “pallawa” menjadi huruf-huruf yang berasal dari aksara Arab. Ketika ada vokal atau konsonan Melayu yang tidak ada padanannya dalam aksara Arab, maka mereka berijtihad pula, mencipta huruf-huruf baru, seperti “Ga”, “Nga”, “Ca” dan sebagainya.
Sekali lagi saya kagum, akan kepandaian, kecerdasan, kearifan, dan ketinggian mutu gagasan dari orang-orang terdahulu. Mereka paham mana yang mahligai mana yang duli, mana yang agung mana yang profan, dan tahu mana yang sakral mana yang biasa. Mereka telah berhasil memosisikan diri mereka pada aras tertinggi, dari tiga posisi aras manusia dalam kehidupan menurut Sokrates dan Plato. Aras pertama, mereka yang memiliki ide dan gagasan, lalu kemudian ide dan gagasan itu mempengaruhi dan dipakai orang, aras kedua adalah mereka yang membaca dan memahami peristiwa, dan aras ketiga atau terendah dari makhluk manusia, adalah mereka yang hanya mampu membicarakan/menyalahkan orang, yang hanya pandai menepuk meja, yang hanya pandai berteriak tapi kosong isinya, yang hanya pandai menyalahkan orang lain tanpa solusi, yang hanya tua karena usia, bukan tua dalam ilmu dan kearifan.
Tetua Melayu masa lampau sungguh telah mampu menjadi “nabi adat” yang sejati, mampu memilah yang “naqli” dan “aqli”,. Dengan dalil-dalil yang shahih, mereka bedakan mana yang ushul mana yang furu dalam adat, mana yang “sebenar adat” mana “yang diadatkan”, dan mana pula yang ‘teradatkan”. Mereka bedakan pula mana yang kulit mana yang substansi, mana yang maslahat, mana yang mudarat, dan mana pula yang syubhat. Mereka menyediakan laman bagi kita yang berpikir, untuk dapat menyesuaikan konsep-konsep adat tersebut dalam konteks kekinian, lewat ungkapan-ungkapan kunci dari setiap konsep adat yang telah mereka sepakati di masa lampau.
Anehnya, justru kita hari ini bertaqlid buta terhadap sesuatu tanpa jelas ujung pangkalnya, menyakralkan sesuatu yang tak suci, dan menyucikan sesuatu yang profan. Hari ini, pasca kedatangan pengurus LAMR memenuhi undangan Ganjar Pranowo, muncul sejumlah “nabi adat palsu” dan sejumlah orang yang mengaku sebagai “bhiksu dan bhiksuni” adat, menghujat dan mengecam. Hujatan dan kecaman itu, diikuti pula olah para pengikut yang menelan ajarannya mentah-mentah, seperti serombongan anggota sekte yang patuh. Para “nabi adat palsu” ini berfatwa, bahwa Tepak itu suci, agung, dan menggerunkan, dan lebih jauh berfatwa, bahwa membawa tepak adalah tanda orang hendak meminang. Lalu mereka, demi mempengaruhi dan menyesatkan orang, menggunakan “hadist-hadist adat” yang maudhu, tertolak, dan dusta.
Sebagai hamba Melayu yang dhaif, saya hanya percaya, bahwa yang berpaku mati dalam adat Melayu adalah “adat sebenar adat”, yang bersumber dari Allah dan Rasul, yang berwaris kepada nabi, berkhalifah kepada Adam, yang bertali dengan kitabullah, yang berinduk kepada ulama, dan yang diikat dengan syarak. Itulah yang dulu dipakai oleh para Perpatih dan Tumenggung, dan itulah yang tidak boleh ditukar ganti. Itulah yang diiktiraf sebagai adat yang berada dalam kelas “ushul” yang dipakai oleh Orang Melayu, yang keras tak tertakik, yang lunak tak tersudu. Tepak tak berwaris kepada Allah dan rasul, ianya berada dalam wilayah furu” dan dimungkinkan terjadinya perbedaan tafsir dan ikhtilaf.
Sebahagian Tetua Melayu di Riau, dan segelintir “Nabi Adat Palsu”, pada hari ini, mencoba menggiring persoalan jemputan dan walimah Ganjar Pranowo, menjadi sumber cacimaki kepada pengurus LAMR, menuduh LAMR tak beradat dan bahkan menjual adat. Namun sayangnya mereka lupa, bahwa cara dan bahasa yang mereka gunakan dalam menghujat itu, bukan hanya tidak beradat, tapi bahkan tidak beradab, dan seperti kata seorang sastrawan berkelas nobel, bahwa banyak dari kita : telah menjadi penari yang mengentakkankan kaki dilantai-lantai dansa, dengan menggemerincingkan lonceng-lonceng kebiadaban. Setelah mencaci maki, lalu dengan jumawa mengatakan bahwa merekalah yang beradat. Menyedihkan memang ketika membaca ucapan orang mengaku memegang adat itu. Sungguh, mereka memang tak pantas dijadikan teladan, sebaliknya merekalah “sempadan” adat yang sebenarnya.
Menjadi Melayu yang “Menjadi”, diukur dengan memiliki ketakwaan, kesantunan, kedermawan, keberanian, berilmu, arif, ramah, memiliki kehormatan, kemampuan menjaga nilai yang tak sekedar kulit, bukan dengan keberanian mencaci maki tanpa melihat kejelasan susur galurnya. Menjadi Melayu tak selesai dengan berbaju kurung, berkain sampin, dan bertanjak. Meskipun simbol-simbol itu penting, tapi sejatinya menjadi Melayu lebih tinggi dari sekedar itu, yaitu dengan menjadikan nilai-nilai yang ada dalam adat, dalam petatah-petitih, dan tunjuk ajar, sebagai pakaian sejati yang sanggam. Jadilah Melayu yang semestinya, dan berhentilah menunjukkan kegagalan menjadi Melayu dalam etalase keindonesiaan, dengan melaung-laungkan pembenaran secara membabibuta dalam ruang-ruang ikhtilaf adat. Berhentilah menunjukkan wajah buruk kita di depan cermin dunia.
Syaukani Al Karim bin H. Abdul Karim bin H. Mustafa bin Hamzah bin Muhammad Yatim bin Jaafar___ Anak Jati Bantantua, Bengkalis. Penulis, sastrawan, dan Timbalan Ketua Umum MKA LAMR Riau. Sejak tahun 1990-an, telah menulis puluhan buku, baik antologi maupun tunggal, tentang sastra, cerita rakyat, sejarah, adat, dan lain sebagainya. Menjadi pemakalah tentang Kebudayaan Melayu di berbagai kota di Indonesia dan Asia Tenggara. Bermastautin di Pekanbaru.
Tulis Komentar