Opini

Rohingya dalam Sejarah Myanmar

Oleh: Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA

DALAM perkembangan sejarah modern Myanmar (Burma), etnis Rohingya bukanlah etnis yang baru mendiami wilayah Myanmar sekarang ini yaitu di bagian Barat Myanmar. Oleh pemerintah Myanmar yang berkuasa saat ini, Rohingya dianggap penduduk illegal. Etnis Rohingya menempati di negara bagian (Provinsi) Rakhine State, Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala Bangladesh yang dipisahkan oleh sungai Naf yang memisahkan ke dua negara yaitu Myanmar dan Bangladesh. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Burma (baca : Myanmar) etnis Rohingya yang telah lama mendiami wilayah di Myanmar Barat tersebut, turut serta dan berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Burma dari penjajahan Inggris ketika itu. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat diabaikan begitu saja oleh pemerintah Myanmar yang berkuasa saat ini. Myanmar secara mayoritas dikuasai oleh etnis Burma yang juga ada dari etnis Karen, Chin dan etnis-etnis minoritas lainnya.

Sejarah mencatat bahwa, pada tahun 1404 sebutan Rohingya sudah ada. Ini bermula dari kerajaan Arakan yang diserang oleh tentara Ava dan Raja Arakan ketika itu, Narameikhla terpaksa melarikan diri ke Benggala (Bangladesh) dan diberi perlindungan politik. Pada tahun 1430, Raja Narameikhla kembali menguasai Arakan dan mendirikan pusat kerajaan di Mrauk-U (Mrohaung) yang terletak di tanah pamah di antara sungai Lemro dan Sungai Kaladan. Mrauk-U merupakan sebuah kota lama yang kaya dengan legenda dan peninggalan sejarah dan menjadi kebanggaan bangsa Arakan ketika itu. Pada tahun 1430, Raja Narameikhla mendapat bantuan dari pahlawan-pahlawan dari Islam dan mulai adanya pengaruh politik orang Islam dari benua kecil India di kawasan barat Myanmar tersebut. Oleh sebab itu, etnis Rohingya hingga kini mayoritasnya menduduki wilayah barat Myanmar (Rakhine State).

Mrauk-U sebagai sebuah ibu kota mempunyai kedudukan yang strategis yang dikelilingi oleh pegunungan dan sangat sulit untuk diserang oleh musuh. Di Mrauk-U juga dibangun sebuah masjid yang dinamakan Masjid Scandhikan yang menjadi kebanggaan dan kemegahan penduduk Islam yang dikenal dengan penduduk lokal yaitu Rohingya. Dan ini menjadi catatan sejarah bahwa Rohingya sebagai sebuah komunitas sudah ada di abad ke-18 dan telah menduduki wilayah Burma (Myanmar).

Mayoritas etnis Rohingya saat ini banyak sudah mengungsi ke negara tetangga terdekatnya seperti di negara Bangladesh. Pengungsi Rohingya mayoritasnya di tempatkan di Cox’s Bazaar, Bangladesh, namun dengan banyaknya pengungsi Rohingya tersebut, telah pula menimbulkan dilema bagi Bangladesh untuk membiayai kehidupan pengungsi Rohingya tersebut. Oleh sebab itu, banyak pengungsi Rohingya lari ke negara-negara seperti India, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Pengungsi yang masuk ke Indonesia khususnya banyak menimbulkan masalah. Banyak pengungsi Rohingya yang ditolak masuk ke Indonesia khususnya di Provinsi Aceh.

Negara bagian Rakhine adalah negara bagian yang terletak di pantai barat Myanmar yang saat ini mayoritasnya ditempati para etnis Rohingya yang sebagian besarnya sudah mengungsi ke negara negara tetangga terdekatnya yaitu Bangladesh akibat dikejar dan diancam dibunuh oleh rezim junta militer Myanmar. Negara bagian Rakhine berbatasan dengan negara bagian Chin di utara, bagian Magway, bagian Bago, dan bagian Ayeyarwady di timur, Teluk Benggala di barat, dan divisi Chittagong di barat laut, Bangladesh. Berbicara tentang Rakhine State, sesungguhnya berbicara tentang penderitaan dan pelarian pengungsi Rohingya yang ditindas oleh rezim militer Myanmar. Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri ke negara Bangladesh, Malaysia, India dan tak terkecuali Indonesia melalui Aceh untuk menghindari dari kejaran dan pembunuhan oleh rezim militer Myanmar.

Secara kultural, etnis Rohingya berasal dari India dan Bangladesh yang umumnya beragama Islam, berbeda dengan etnis mayoritas Burma yang beragama Buddha. Etnis Rohingya tidak memiliki sejarah pemberontakan terhadap pemerintah pusat di Rangoon (Ibu kota lama Burma (Myanmar). Berbeda dengan etnis-etnis lainnya seperti halnya etnis Karen dan Chin yang selalu menentang pemerintah pusat dan hingga kini masih terus berjuang dengan mengangkat senjata dan ingin merdeka dari pemerintahan Myanmar. Dalam sejarah perjuangan Burma mencapai kemerdekaan, etnis Rohingya juga memiliki andil yang cukup besar terutama ketika berhadapan dengan penjajahan Inggris. Kendati telah bermukim di wilayah Myanmar jauh sebelum perang dunia kedua, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar oleh rezim junta militer.

Barangkali perbedaan kultur dan kepercayaan yang menjadikan etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar yang sah. Undang-undang kewarganegaraan Myanmar yang berlaku sejak tahun 1982 tak mengakui etnis Rohingya yang muslim tersebut sebagai warga negara. Etnis Rohingya di Myanmar termasuk etnis yang tidak pernah menuntut otonomi khusus, apalagi menginginkan kemerdekaan terpisah dari pemerintah pusat di Rangoon, ibu kota lama Burma (sekarang Nay Phy Taw). Berbeda dengan etnis-etnis lainnya, katakanlah seperti etnis Karen dan Kachin yang minoritas selalu mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi khusus maupun pisah dari pemerintah pusat. Tidak ada alasan rezim militer Myanmar untuk menindas dan membunuh etnis Rohingya yang dalam sejarah telah berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Burma (Myanmar).

Penulis adalah alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS UKM, Malaysia.

 



Tulis Komentar