Opini

Dilema Rempang Eco-City; Realitas dan Harapan

Oleh: Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env

Rencana pembangunan Rempang Eco-City, sebagai kawasan industri terpadu yang digaungkan pemerintah dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru melalui investasi, tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Sebagian masyarakat yang lahannya terdampak mega-proyek, enggan dan tidak mau untuk direlokasi ke tempat lain yang telah disediakan pemerintah dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Namun di sisi lain pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan proyek ini. 

Dalam kasus ini menunjukkan adanya konflik kepentingan secara vertikal antara masyarakat dan pemerintah. Kenapa terjadi konflik? Karena ada perebutan kepentingan ekonomi antara masyarakat dan pemerintah. Bagi warga Rempang, disinilah tempat mereka untuk menjalani kehidupan dengan seluruh aspeknya (sosial, ekonomi dan ekologi), dan  yang terpenting adalah tempat untuk bekerja sebagai nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap laut yang kemudian mereka jual untuk mendapatkan uang dan sebagiannya lagi mereka konsumsi. Sedangkan bagi pemerintah Pulau Rempang adalah tempat yang potensial untuk dijadikan sebagai kawasan indutri terpadu dengan imbalan uang dan devisa yang akan didapatkannya. 

Hal ini cukup aneh, karena semestinya pemerintah justru mengayomi dan melindungi masyarakat, tetapi sekarang justru terjerumus dalam konflik yang tak berkesudahan. Ini ibarat terjadi konflik antara orang tua (pemerintah) dan anaknya sendiri (penduduk Rempang). 

Masyarakat yang sudah menempati Pulau Rempang sejak sebelum Indonesia Merdeka, merasa sudah menyatu dengan eksositem, dan sukar berpisah dengan tanah kelahiran. Selain itu, di dalam ekosistem ini pula mereka mencari kehidupan dan penghasilan yang umumnya berprofesi sebagai nelayan; mencari dan menangkap ikan, udang, kepiting, kerang adan hasil tangkapan laut lainnya. Di sini pula mereka dengan selesa dapat menjalankan budaya Melayu yang sudah melekat sejak berjaman, serta tradisi lainnya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berat rasanya bagai mereka untuk memulai hidup baru di ekosistem yang berbeda dengan lingkungan alam yang telah membesarkan mereka selama ini.

Memang Rempang Eco-City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang oleh pemerintah pusat dan didukung oleh BP Batam terasa terburu-buru dan tergesa-gesa. Ditengarai PSN yang dikerjakan oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG) pada lahan seluas 7.572 hektare,  juga belum melakukan studi  Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang wajib dilakukan olek proyek berskala besar yang berpotensi  menimbulkan dampak lingkungan (fisik, kimia, biologi) dan   sosial-ekonomi serta sosial-budaya masyarakat. Oleh karena itu, proyek ini tidak sepenuhnya direstui oleh masyarakat, yang berujung terjadinya beberapa kali unjuk rasa  masyarakat yang menolak proyek. Unjuk rasa juga dilakukan oleh pihak lain yang merasa peduli dan prihatin dengan masa depan Pulau Rempang dan penduduknya. Tidak hanya dampak ekonomi jangka panjang tetapi juga dampak ekologi bagi ekosistem. Mungkin dalam jangka pendek menguntungkan secara ekonomi namun dalam jangka panjang justru menyengsarakan dan menimbulkan dampak ekologi berupa berbagai bentuk pencemaran lingkungan dan degradasi sumberdaya alam lainnya.

Negoisasi dan pendekatan telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah dengan tokoh masyarakat dan perwakilan dari masyarakat, namun secara umum masih mengalami jalan buntu. Termasuk juga deadline untuk meninggalkan lokasi bagi penduduk yang terdampak proyek  pada tanggal 28 September juga tidak menuai hasil yang diharapkan. Kemudian pemerintah dan BP Batam mengeluarkan berbagai alternatif untuk bisa membujuk masyarakat meninggalkan lokasi yang terdampak proyek, namun lagi-lagi belum sepenuhnya berhasil, hanya sebagian penduduk yang bersedia untuk direlokasi.

Perkara ini terasa kompleks dan rumit, karena tidak hanya menyangkut ekonomi masyrakat setempat, tetapi juga berkelindan dengan sosial-budaya masyarakat Melayu yang mereka pegang sejam berjaman lagi. Sehingga tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat berjalan alot dan tegang, yang dalam beberapa unjuk rasa sudah terjadi benturan fisik antara aparat keamanan dan masyarakat. Dan beberapa masyarakat juga ada yang sempat ditahan oleh pemerintah yang diduga sebagai dalang dan provokator unjuk rasa.

Jadi, bagaimana solusinya yang bisa menuntungkan kedua pihak? Memang sukar untuk mencari jawabannya, karena memang sejak awal tidak direncanakan dengan matang, dan terasa seperti dipaksakan. Masyarakat juga merasa tidak dilibatkan di dalam proses perencanaan pembangunan mega-proyek ini. Namun bagaimanapun harus ada solusi untuk mengatasinya, walaupun sudah terlambat. 

Jika bercermin dari tempat lain seperti dalam kasus restorasi Sungai Cheon Gye Chon di Kota Metropolitan Seoul,  Korea Selatan pada awal tahun 2000an maka langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan musyawarah (meeting) dan pendakatan yang intensif dengan masyarakat dan kelompok masyarakat  yang terdampak proyek. 
Gagasan ini pada mulanya juga mendapatk protes dan penolakan dari para pedagang, masyarakat dan LSM dengan melakukan berbagai unjuk rasa menolak projek yang kemudian dikenal sebagai Cheon Gye Chon Restoration. Memang sulit dan berat, dimana dalam proses negoisasi restorasi Sungai Cheon  Gye Chon melalui meeting sebanyak 4000 (empat ribu) kali  dan  pendekatan dengan pihak yang menolak proyek tersebut, dan akhirnya pada Juli 2003 proyek tersebut dimulai. Suatu usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat yang terdampak proyek.  Tak terbayangkan dan mustahil rasanya mereka melakukan sebanyak 4000 meeting, namun angka yang fantastis ini adalah realitas dan ditulis dalam berbagai publikasi dan jurnal ilmiah. 

Akhirnya masyarakat luluh dan bersedia dengan suka-rela direlokasi, karena  juga bakal mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial dari proyek pembangunan. Sungai tersebut yang sebelumnya kumuh dengan penduduk sekitar dan para pedagang yang menempatinya kemudian disulap menjadi kawasan rekreasi yang menarik. Para pedagang direlokasi ke tempat baru, dimana mereka juga tetap dapat untuk menjalankan aktivitas perdagangan seperti sebelumnya.

Pertanyaannya bagaimana dengan proses negoisasi di Pulau Rempang? Sudah berapa kali dilakukan pertemuan (meeting) dan bagaimana pula pendekatan yang telah diambil? Dan apakah proyek ini bisa meyakinkan akan berdampak positif bagi warga yang terdampak proyek dan masa depan ekologi seperti dalam kasus restorasi Sungai Cheon  Gye Chon ?

Kita semua berharap agar kasus di Pulau Rempang juga berakhir dengan manis dan menguntungkan kepada semua pihak. Tidak hanya sekedar bujukan manis yang berujung kesengsaraan bagi masyarkat. Tetepai janji  yang berpihak kepada masyarakat dan ekologi  yang dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata di kemudian hari. Masyarakat yang mayoritas sebagai nelayan juga dapat berprofesi sebagai nelayan yang memang telah mereka warisi secara turun temurun. Bukan direlokasi di tempat baru yang tidak ada akses bagi mereka untuk bekerja di sektor perikanan. Selain itu yang terpenting mereka juga dapat untuk menjalankan tradisi  Melayu yang selama ini mereka praktekkan dalam keseharian. Allahu a’lam.

 

Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau, Pekanbaru.



Tulis Komentar