Opini

Pilpres dan Sampah Visual

Oleh: Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) jika tidak ada halangan akan berlangsung tahun 2024, namun semenjak pendaftaran calon presiden (Capres) 2024-2029  secara resmi ke komite pemilihan umum (KPU) yang terdiri dari pasangan Ganjar-Mahfudz, Prabowo-Gibran, dan Anies-Muhaimin semakin gencar sosialisasi dilakukan oleh ketiga calon pasangan, baik melalui media cetak dan elektronika, menjumpai kumpulan massa, mengadakan acara dan kegiatan bersama para calon pemilih, serta pemasangan spanduk dan baliho di sepanjang jalan dan tempat-tempat umum yang diperbolehkan.

Tulisan ini akan memfokuskan kepada sosialisasi dalam bentuk pemasangan baliho dan spanduk yang semakin gencar dilakukan di berbagai tempat, mulai dari kawasan perkotaan hingga pedesaan secara masif di seluruh penjuru Tanah Air. Perang spanduk dan baliho tidak hanya untuk pemenangan Capres yang diusung, namun juga bersamaan dengan sosialisasi para bakal calon (balon) anggota legislatif yang akan dilakukan serentak dengan Pilpres.

Pemasangan spanduk dan baliho menjadi semakin masif dan intensif, dengan corak, tampilan dan model terbaru. Hampir semua capres melakukan cara “pemasaran” seperti ini. Semakin banyak gizi sang calon,  maka baliho dan spanduk juga semakin banyak dan beragam dipasarkan kepada masyarakat. Bahkan baliho dan spanduk juga terlihat dipajang di  halaman beberapa tempat ibadah. Pemajangan baliho dan spanduk akan semakin menjamur dan meriah di tempat-tempat keramaian, seperti kawasan perumahan dan  persimpangan jalan.  

Yang jelas, pemasangan  spanduk tersebut sudah turut mengganggu pemandangan dan keindahan kota. Kehadiran spanduk tersebut  mungkin termasuk yang tidak dikehendaki dan mengganggu pemandangan, yang oleh sebagian penulis dimasukkan ke dalam kategori pencemaran visual. Bahkan ada yang menyebutnya dengan lebih sinis lagi sebagai sampah visual. Menurut Tinarbuko (2008) sampah visual merupakan sebuah aktivitas pemasangan iklan luar ruangan yang memiliki jenis komersial, sosial, ataupun iklan politik yang penempatannya tidak sesuai dengan aturan yang ada.

Berbeda dengan kampanye dan sosialisasi yang berlaku di negara-negara maju, dimana kampanye lebih banyak dilakukan melakukan media sosial, media massa dan media elektronik. Selain itu, kampanye juga lebih banyak dilakukan di dalam ruang tertutup dalam bentuk dialog dan pemaparan program dan visi balon legislatif atau eksekutif.  Kegaduhan dan kemeriahan kampanye hanya dalam bentuk kicauan di media sosial, surat kabar, televisi dan media massa lainnya. Sementara secara fisik, seperti tidak ada terjadi  apa-apa di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi, karena didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang sudah terdidik dan terpelajar.
Bagi masyarakat di sana, yang jauh lebih penting adalah visi dan program yang diusung oleh partai dan balon legislatif/eksekutif. Sehingga kampanye  partai dan balon legislatif/eksekutif lebih difokuskan kepada program dan visi yang bakal dilaksanakan.

Perang Baliho dan Spanduk

Keadaan tersebut bertolak belakang dengan yang terjadi di Tanah Air, dimana masyarakat  yang mayoritasnya lebih cenderung  memilih tokoh yang populer  dan disenangi. Keadaan ini ditangkap cerdas oleh partai dan balon legislatif /eksekutif dengan melakukan politik pencitraan kepada masyarakat  melalaui pemajangan gambar dan iklan partai serta balon legislatitif/eksekutif. Sementara visi dan program partai serta balon tidaklah begitu ditonjolkan.

Hal inilah kemudian yang mendorong semakin maraknya penggunaan baliho, spanduk, reklame di sepanjang jalan dan tempat-tempat umum menjelang berlangsungnya Pilpres, seperti yang kita saksikan sekarang. Aturan dan ketentuan yang ada seringkali dilanggar oleh partai dan balon di dalam pemasangan baliho, reklame dan spanduk. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), KPU dan pihak-pihak berwenang selalu kerepotan untuk mengawasi dan menindaknya, karena banyaknya dan bersilewerannya atribut partai  dan balon legislatif dan eksekutif. Malam ditertibkan, besok pagi muncul lagi. Hari ini diturunkan, besok pagi nongol lagi dengan tampilan yang lebih hebat. Protes, kritikan dan cemoohan oleh sebagian masyarakat melalui kicauan di media sosial dan media massa  tidak dihiraukan.

Khusus untuk daerah perkotaan, sampah visual ini bahkan sudah mengepung  kota dari seluruh penjuru mata angin. Seolah tidak ada lagi ruang  tersisa, kecuali sudah terpampang baliho, reklame dan spanduk  partai, capres dan balon legislatif.

Pada lokasi-lokasi tertentu yang strategis terjadi “perang” atribut partai dan balon, sehingga sudah sampai tahap mengganggu pengendara kendaraan dan masyarakat yang melintas. Sementara kenderaan bermotor yang menyenggol dapat  terjadi kecelakaan karena terganggu pemandangan  baliho atau spanduk.  Wallahu a’lam.

Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru, [email protected].

 

 



Tulis Komentar